Tidak Dilarang, tapi Ditertibkan

Bukannya dilarang, dana nonbujeter di lembaga-lembaga pemerintah harus ditertibkan. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution mengatakan, meski tak terelakkan, pemanfaatan dana di luar APBN itu harus dapat dipertanggungjawabkan.

Masalahnya, dari mana (asal dana, Red). Kalau instansi pungut sendiri-sendiri, itu saya kira tidak beres, ujar Anwar ketika menghadiri pelantikan dua anggota baru BPK, Herman Widyananda dan Sapto Amal Damandari, di gedung Mahkamah Agung (MA) kemarin.

Dana nonbujeter, lanjutnya, sah-sah saja. Tetapi, sekali lagi, harus punya cantolan hukum berupa UU dan bisa dipertanggungjawabkan.

Soal mekanisme, menurut Anwar, itu urusan DPR dan pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan. BPK sebagai badan pemeriksa telah mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat aturan soal dana nonbujeter. Apa pemerintah rela masing-masing departemen liar seperti yang dilakukan Rokhmin, tuturnya.

Mantan deputi senior gubernur Bank Indonesia tersebut lantas menyinggung kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Rokhmin kini menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena kasus pungutan liar kepada dinas-dinas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta pihak luar dan disimpan sebagai dana nonbujeter.

Namun, pemakaian dana tersebut tak dipertanggungjawabkan dengan semestinya. Bahkan, pengeluaran dana nonbujeter DKP hanya dicatat dalam buku catatan milik mantan Sekjen DKP Andin H. Taryoto dan staf Rokhmin, Didi Sadili.

Menurut Anwar, kasus pungli DKP yang menjelma menjadi bola liar karena melibatkan banyak parpol dan tokoh itu bukan monopoli departemen tersebut. Banyak institusi yang juga melakukan hal serupa. MA, misalnya, yang merupakan lembaga peradilan tertinggi, juga melakukan pungutan berkedok biaya perkara pengajuan kasasi dan peninjauan kembali (PK) kasus perdata.

Mestinya, kata Anwar, semua pemasukan dan pengeluaran institusi pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat secara terbuka melalui DPR. Kalau semua institusi pungut dana, nggak sehat itu. Negara kita seperti negara gerombolan, ujar mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.

Berbeda dengan Anwar, anggota Komisi XI DPR Drajad Wibowo justru berpendapat dana nonbujeter seharusnya dihapuskan. Tidak boleh ada dana nonbujeter karena merusak good goverment dan rawan korupsi, katanya kepada Jawa Pos tadi malam. Selain itu, dana nonbujeter juga tak jelas pertanggungjawabannya.

Menurut dia, keuangan instansi harus dikembalikan pada pakem yang benar, yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menanggapi dalih bahwa dana nonbujeter menutup biaya kebutuhan yang tak di-cover APBN, Drajad menilai hal itu tak berdasar. Ada solusinya, yakni dengan mengubah APBN. Saat ini APBN tak memberi dana cukup dan memiliki struktur terlalu rigid, jelas ekonom IPB tersebut.

Sumber dana nonbujeter bisa saja dijadikan komponen APBN yang penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan. Dana nonbujeter yang rawan korupsi sudah telanjur menjadi praktik membudaya. Bukan hanya menteri, pejabat eselon I pun punya dana nonbujeter, semua PNS tahu soal itu, ujarnya.

Ekonom INDEF itu mengungkapkan, sebagai bendahara negara, menteri keuangan bertanggung jawab membereskan praktik koruptif tersebut. Apalagi, tambahnya, Menkeu merupakan biang keberadaan dana nonbujeter tersebut. Dana DKP tak seberapa, lebih besar dana nonbujeter di Depkeu yang berasal dari PNBP, utang keuangan negara, pengembalian kekayaan negara, dan pungutan sektor migas. Dana investasi saja besarnya sampai Rp 100 triliun, paparnya.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 25 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan