Tiga Guru Besar Terperangkap

Paling tidak, ada tiga orang guru besar yang telah terjebak pada misteri birokrasi lantaran belum pernah berhubungan dengan perilaku birokrasi setelah meninggalkan dunia akademis yang lugu dan transparan. Oleh karena itu, para guru besar tersebut harus menanggung akibat dari liku-liku birokrasi pemerintahan yang memang sulit diperkirakan.

Yang paling awal adalah Prof Nazaruddin Syamsuddin. Kesalahan pokoknya adalah mengambil alih urusan tender dan keuangan yang selama ini merupakan keahlian para birokrat.

Penyelenggara pemerintahan yang profesional itu tahu betul bagaimana mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan rekanan dan umpan balik (kickback) sehingga tampak wajar dan tidak akan ditemukan penyimpangan.

Pengalaman sekitar 30 tahun sepanjang masa pemeritahan yang lalu telah mengajarkan bagaimana cara berkelit dan sekaligus menutup suatu penyelewengan. Keahlian dan pengalaman yang tidak mungkin diperoleh dari bangku kuliah, apalagi termasuk dalam kurikulum pendidikan.

Korban kedua ialah Prof Rokhmin Dahuri. Walaupun pernah menjabat petinggi di perguruan tinggi, dia belum sepenuhnya mengenal seluk-beluk birokrasi pemerintahan yang tidak bersifat kolegial seperti tata administrasi di pendidikan tinggi.

Apalagi kemudian mempunyai jabatan politis yang tertinggi dan disegani dalam suatu departemen. Angin yang menerpa lebih keras terhadap bagian teratas suatu batang pohon.

Justru keterusterangan dan kejujuran yang merupakan barang langka dalam jajaran aparatur pemerintahan telah menggiring guru besar yang satu ini berhadapan dengan meja peradilan. Suatu institusi yang merupakan perpanjangan tangan Tuhan di dunia dalam hal keadilan.

Tokoh ketiga adalah Prof Amien Rais. Meski dia pernah memimpin suatu partai politik dan bahkan telah menduduki kursi tertinggi dalam politik pemerintahan, jiwa dan latar belakang sebagai akademisi yang telanjur melekat tidak mudah begitu saja dilepaskan.

Keinginan untuk selalu terbuka dan mengemukakan yang sebenarnya sangat berlawanan dengan fatsun politik yang sulit diramalkan. Dalam politik berlaku semboyan dalam bahasa Jawa yang pasti sangat dipahami oleh Prof Amien, Esuk dele, sore tempe. Sesuatu bisa saja berubah rupa, berbalik kenyataan dalam setengah hari, tidak sampai 24 jam.

Itulah dunia politik yang merupakan bagian dari misteri dalam birokrasi pemerintahan yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi, tumbuh, dan berkembang di lingkungan akademisi.

Ketiga guru besar itu merupakan contoh nyata bahwa menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan apa yang pernah dialami dan dipelajari selama di perguruan tinggi.

Kelompok guru besar, ekonom terkemuka yang menjadi arsitek pembangunan selama masa Orde Baru, tidak bisa dijadikan pegangan. Mereka mempunyai kedekatan emosional dengan pimpinan tertinggi negeri ini. Sehingga mereka mendapatkan garansi tidak akan diganggu gugat sepanjang tidak memasuki ranah terlarang yang ditetapkan Soeharto sendiri.

Apalagi pemimpin asal Jawa Tengah itu -meski dikenal sangat ramah dan murah senyum- mampu bertindak tegas dan mengambil keputusan pasti yang tidak bisa dipengaruhi bila sudah menjadi keyakinan atas kebenaran tindakan yang ditetapkan.

Seorang jenderal tidak akan mengorbankan prajuritnya sepanjang mengikuti arah kebijakan yang telah dikomandokan. Seorang ayah siap membela anak-anaknya bila memang semua tindakan para putranya telah sesuai dengan arahan ayahnya.

Era reformasi membawa arus demokratisasi dan keinginan untuk menegakkan good governance. Salah satu ciri yang dikejar untuk memperoleh tata kelola pemerintahan yang baik itu adalah pemberantasan korupsi. Karena itu, dibentuklah KPK dan Tastipikor di samping institusi Kejaksaan Agung dan kepolisian yang memang sebelumnya telah ada.

Padahal, sebenarnya unsur utama adanya suatu good governance adalah reformasi birokrasi yang tentu bukan berupa pemberantasan korupsi saja. Reformasi birokrasi mempunyai prasyarat penting yang berupa reformasi kepegawaian negara. Justru langkah awal ini yang lebih perlu diprioritaskan.

Apalagi dalam laporan dan penerbitan berbagai lembaga internasional, birokrasi pemerintahan di Indonesia dinilai cukup baik. Dalam arti, loyalitas yang tinggi pada tugas dari kecermatan dalam bidang administrasi. Keterampilan dan pengalaman yang diperoleh selama 30 tahun dalam alam monoloyalitas.

Modal awal itu cukup memadai untuk segera melakukan reformasi penggajian dan balas jasa serta penilaian kinerja aparatur pemerintah. Tidak perlu ragu menaikkan gaji pegawai negeri lima kali lipat dari keadaan saat ini bila ingin mendapatkan birokrasi yang profesional.

Untuk memperoleh perhatian yang lebih terhadap koperasi dan UKM, pada masa pemerintahannya, Presiden Habibie tidak segan-segan mengucurkan dana triliunan rupiah untuk pengembangan koperasi dan UKM.

Meski banyak dianggap bersifat populis dan kemudian menjadi kredit macet, perhatian pada koperasi dan UKM sebagai usaha yang mampu bertahan di masa kritis tetap memperoleh tempat yang layak sampai saat ini.

Perbaikan penghasilan PNS yang diimbangi dengan pola penerimaan serta seleksi yang ketat dan perubahan institusi yang tepat akan menghasilkan aparatur pemerintahan yang memiliki profesionalitas dan integritas dalam menjalankan tugas.

Dengan modal semacam itu, birokrasi pemerintahan tidak lagi merupakan suatu misteri. Bukan lubang jebakan yang akan menyebabkan para guru besar terperosok ke dalamnya tanpa disadari. Terkubur dalam lubang birokrasi karena keluguan, kejujuran, dan keinginan mengemukakan keterbukaan. Ciri utama dunia akademis yang memegang semboyan boleh salah, tetapi haram untuk berbohong.

Berbeda dengan pedoman yang melekat pada birokrasi pemerintahan yang tidak boleh salah, meski harus berbohong. Apalagi keyakinan umum yang ditemui pada dunia politik: boleh salah, boleh berbohong.

Jadi, kalau ketiga guru besar tersebut telah terperangkap dalam alam yang berbeda, tentu akan wajar-wajar saja. Menjadi tidak wajar apabila sanksi yang diberikan ternyata tidak memperhatikan lingkungan asal yang mempunyai warna tertentu itu. Kalau pun hukuman akan diberikan juga, ketiganya tetap merupakan Sang Maestro.

Mereka yang ahli dalam bidangnya karena ketekunan dan profesionalitas bisa saja tergelincir ketika memasuki medan yang sangat berbeda. Namun, mereka tetap saja akan dikenang dan dihormati sebagai pakar di bidang masing-masing.

H Prijono Tjiptoherijanto, guru besar UI, anggota Komisi Ahli PBB untuk Administrasi Publik Periode 2006-2007

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan