Tiga Kasus BLBI Kakap Dibidik; Diduga Salah Satu Libatkan Grup Salim

Tiga kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sedang dibidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Kasus-kasus itu tergolong kakap karena nilai kerugian negara lebih dari Rp 10 triliun.

Tiga kasus BLBI tersebut tergolong besar. Kami memprioritaskan untuk menyelesaikannya, kata Jaksa Agung Hendarman Supandji setelah rapat kerja (raker) antara jajaran Kejagung dengan Komisi III DPR di gedung MPR/DPR kemarin.

Saat ditanya detail dan siapa obligor yang terseret tiga kasus tersebut, Hendarman menolak menyebutkan. Waduh, dirumuskan saja belum. Saya nggak sebut nama dulu, ujar mantan ketua Timtastipikor itu.

Yang jelas, rincian kasus-kasus tersebut diumumkan sebelum Hari Bakti Adhyaksa, 22 Juli mendatang.

Menurut informasi yang beredar, BLBI yang dikucurkan kepada Salim Group (SG) menjadi salah satu prioritas. SG pernah terbebas dari kewajiban utang kepada negara setelah menerima surat keterangan lunas (SKL). Dari pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS), nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke BPPN untuk penyelesaian BLBI hanya 36,7 persen atau Rp 19,38 triliun di antara Rp 52,72 triliun yang harus dibayar.

Menurut Hendarman, obligor BLBI yang menerima SKL tidak tertutup dari proses hukum. Sebab, kejaksaan akan menyelidiki kemungkinan penggunaan agunan fiktif untuk memperoleh SKL. Kalau jaminannya bodong, tentu bisa diproses (hukum), tegasnya.

Kejaksaan tidak mengusut SKL atau kebijakan release and discharge (R&D) sesuai Inpres No 8 Tahun 2002. Hendarman menyatakan, kejaksaan punya kemampuan terbatas untuk menuntaskan seluruh kasus BLBI. Karena itu, kejaksaan akan memfokuskan tiga kasus besar lebih dulu. Jumlah jaksa yang hanya 35 orang juga menjadi pertimbangan, ujarnya.

Dia menambahkan, jika bisa menuntaskan tiga kasus BLBI kakap, kejaksaan akan menangani kasus-kasus lain terkait dengan BLBI.

Di tempat yang sama, anggota komisi III Gayus Lumbuun menuturkan, kejaksaan harus mengusut beberapa mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terkait dengan penyerahan aset fiktif oleh obligor BLBI untuk memperoleh SKL. Sebab, kelalaian mereka menimbulkan adanya indikasi tindak pidana. Di sini, keberanian jaksa agung sedang ditunggu, tegasnya.

Anggota komisi III lainnya, Yansen Hotasoit, menyatakan, kejaksaan seharusnya mempunyai cetak biru alias blueprint untuk menuntaskan semua kasus BLBI. Sebab, jika tidak punya arah yang jelas, penuntasan kasus BLBI akan tambal sulam alias disesuaikan selera jaksa agung. Blueprint penanganan kasus BLBI itu sangat penting, mengingat menjadi pegangan, ujarnya.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 29 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan