Tiga Terdakwa Kasus Tabungan Prajurit Divonis

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin memvonis tiga terdakwa kasus korupsi dana Badan Pengelola Tabungan Wajib Prajurit TNI. Tiga terdakwa itu adalah Kolonel Czi Ngadimin D.S., Samuel Kristianto, dan Dedy Budiman Garna.

Hakim Soedarmaji memvonis para terdakwa masing-masing 9 tahun, 10 tahun, dan 13 tahun penjara. Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa M. Hudi, yang menuntut Ngadimin dan Samuel 8 tahun serta Dedy 12 tahun penjara.

Salah satu terdakwa, Ngadimin, menyatakan kecewa. Saya kembalikan kepada Tuhan. Hakim kan wakil Tuhan, ujarnya. Marlina Marianna Siahaan

Sumber: Koran Tempo, 2 Mei 2007
-----
Kolonel AD Diganjar 9 Tahun
Korupsi Uang Perumahan Prajurit

Kolonel CZI Ngadimin tertunduk lesu. Mantan kepala Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan Prajurit (BPTWP) TNI-AD itu dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara setelah terbukti mengorupsi iuran perumahan prajurit senilai Rp 100 miliar.

Ngadimin diadili bersama dua terdakwa lain, yakni Samuel Kristianto (pengurus Yayasan Mahanaim) dan pengusaha Dedy Budiman Garna. Samuel divonis 10 tahun, sedangkan Dedy yang residivis dihukum 13 tahun. Pria bersorban dan berjenggot itu pernah mendekam di penjara terkait kasus penipuan di Bandung.

Selain hukuman penjara, Ngadimin dkk didenda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. Mereka juga dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti. Ngadimin diharuskan menyetor Rp 8,5 miliar. Samuel dan Dedy masing-masing dikenai Rp 15 miliar dan Rp 42,8 miliar.

Putusan itu lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU M. Hudi menuntut masing-masing pidana delapan tahun untuk Ngadimin dan Samuel. Sedangkan Dedy dituntut 12 tahun penjara.

Putusan dibacakan majelis hakim di PN Jakarta Selatan. Persidangan dipimpin Soedarmadji didampingi dua hakim koneksitas. Para terdakwa didampingi pengacara Firman Wijaya dan Arianus Sitorus.

Majelis menyatakan perbuatan Ngadimin dkk memenuhi unsur-unsur korupsi, kata Soedarmadji dalam putusannya kemarin. Mereka dianggap memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan merugikan negara Rp 100 miliar. Perbuatan mereka melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 jo pasal 39 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan primer.

Majelis mempertimbangkan tiga alasan memberatkan. Selain merugikan negara, kinerja keuangan BPTWP terganggu, sehingga memengaruhi kesejahteraan prajurit. Ngadimin dinilai salah memaknai dedikasi sebagai prajurit. Lalu Samuel disalahkan sebagai pencetus dalam korupsi tersebut. Dedy berstatus residivis dan pernah dihukum, tegas Soedarmadji.

Majelis membeber kronologi kasusnya. Semua berawal pada 2004, ketika terjadi kerja sama antara Yayasan Mahanaim dan TNI-AD untuk program perumahan prajurit. Mereka memanfaatkan bantuan dari luar negeri. TNI-AD lantas diminta menyediakan dana pendamping Rp 100 miliar untuk mengucurkan bantuan asing. Uang Rp 100 miliar tersebut tidak boleh digunakan, jelasnya.

Kenyataannya, uang yang tersimpan di Bank Mandiri Cabang Panglima Polim itu dicairkan Ngadimin dan Samuel untuk kepentingan lain. Rinciannya, Rp 42,8 miliar untuk Dedy, USD 3 juta untuk Rafael Wong (kini buron), dan sisanya untuk Ngadimin dan Samuel. Pencairan uang itu tanpa setahu pimpinan TNI-AD, kata Soedarmadji. Praktis, penyalahgunaan uang tersebut merugikan negara Rp 100 miliar.

Baik Ngadimin maupun Samuel tergoda dengan tipu muslihat Dedy. Maklum, Dedy menawarkan uang selisih atas penggunaan uang Rp 42,8 miliar untuk membeli surat berharga oil production bond. Pembelian oil production bond memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan tujuan awal untuk mendapatkan dana bantuan pembangunan perumahan prajurit, ujarnya.

Atas putusan tersebut, Ngadimin tampak kecewa berat. Dia menyerahkan sepenuhnya putusan itu kepada Tuhan. Ini terkait tuduhan bahwa saya tidak melaporkan penggunaan dana itu. Padahal, masih ada saksi yang memberi keterangan, ujar Ngadimin.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 2 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan