Tim Antikorupsi Selamatkan Rp 2,7 Triliun

Sistem pengelolaan keuangan negara belum jelas.

Setahun terbentuk, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp 2,7 triliun. Uang sebanyak itu sebagian masih dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Sebagian lagi sudah diputus pengadilan, ujar ketua tim itu, Hendarman Supandji, di kantornya Jumat lalu.

Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada 14 Mei 2005. Menurut Hendarman, sejak awal, program kerja Tim Koordinasi difokuskan menindaklanjuti perintah Presiden mengenai 21 kasus dugaan korupsi yang merupakan laporan masyarakat. Tapi, kata Hendarman, setelah ditelaah, hanya 14 kasus yang terindikasi tindak pidana korupsi.

Kasus-kasus itu adalah kasus dugaan korupsi di Departemen Agama, Jamsostek, Pertamina, Sekretariat Negara, Badan Pengelola Gelora Senayan, Departemen Pertahanan, Angkasa Pura II, Pelindo II, Pupuk Kaltim, Telkom, Asuransi Jiwasraya, Bank Rakyat Indonesia, Perusahaan Listrik Negara, dan Bank Mandiri. Dua kasus, yakni kasus Dana Abadi Umat di Departemen Agama dan Jamsostek, sudah diputus pengadilan, kata Hendarman.

Menurut Hendarman, dari dua kasus Dana Abadi Umat dan Jamsostek, uang negara yang diselamatkan adalah Rp 653,6 miliar dan US$ 11 ribu. Sedangkan untuk kasus lain yang masih dalam tahap penyidikan dan penuntutan, Hendarman memperkirakan uang negara yang bakal terselamatkan Rp 2 triliun.

Hendarman mengatakan Tim Koordinasi belum bisa menilai apakah target program kerjanya telah tercapai atau belum. Sebab, kata dia, masa kerja Tim Koordinasi adalah dua tahun. Jadi tunggu saja hingga April tahun depan, ujarnya.

Dihubungi terpisah, Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto cukup bangga dengan hasil kerja Tim Koordinasi. Hasril berharap keberhasilan Tim Koordinasi bisa ditiru aparat hukum lainnya.

Namun, Hasril khawatir terhadap nasib uang negara sebanyak Rp 2,7 triliun itu. Sebab, menurut dia, selama ini sistem pengelolaan keuangan negara belum jelas. Hasril menilai, selama ini, ada kerumitan di tingkat birokrasi terhadap pengelolaan keuangan negara. Banyak lembaga negara, kata dia, yang merasa paling berhak atas pengelolaan keuangan negara itu.

Hasril juga menilai duit sebanyak itu seharusnya sebagian dialokasikan untuk perbaikan di sektor hukum. Selama ini, menurut dia, sektor tersebut minim mendapatkan alokasi dana. Misalnya, Mahkamah Agung mendapat Rp 1,2 triliun dari Rp 5,5 triliun yang diajukan. Sektor itu seakan-akan dianaktirikan, katanya saat dihubungi kemarin. AGOENG WIJAYA

Sumber: Koran tempo, 19 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan