Transaksi (Rekening) Mencurigakan
BELAKANGAN ini, berita paling hot di luar pemberitaan video porno mirip para artis beken Ariel-Luna-Cut Tari adalah seputar rekening gendut para petinggi (pati) Polri. Menurut pemberitaan banyak media massa, setidaknya banyak pati Polri yang memiliki rekening di atas Rp 1 miliar. Oleh banyak pihak, rekening oknum pati Polri ini disebut sebagai rekening mencurigakan.
Apanya yang mencurigakan, wong yang punya sangat jelas para oknum polisi itu sendiri? Kalau rekening mencurigakan, berarti pemiliknya tidak jelas. Di sinilah perlunya pemahaman yang komprehensif mengenai masalah ini.
Ada yang kurang pas dalam pemberitaan media massa mengenai istilah rekening mencurigakan itu. Sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tidak dikenal adanya istilah rekening mencurigakan. Yang dikenal adalah istilah transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transactions), yakni transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.
Selain pengertian itu, transaksi keuangan mencurigakan bisa pula memiliki pengertian sebagai transaksi keuangan yang diduga dilakukan dengan tujuan menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan penyedia jasa keuangan (PJK) sesuai dengan ketentuan UU TPPU. Istilah itu bisa pula memiliki pengertian sebagai transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana tertentu.
Bergantung pada PJK
Di setiap bank (PJK lain) yang sudah bagus sistem teknologi informasi keuangannya, setiap hari akan bisa dicetak laporan-laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan juga laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) di atas Rp 500 juta. LTKM wajib dilaporkan PJK maksimal tiga hari kerja sejak PJK mengendus transaksi tersebut. Sementara itu, LTKT wajib dilaporkan maksimal 14 hari sejak terjadinya transaksi keuangan tersebut. Oleh para PJK, kedua laporan itu wajib dilaporkan ke pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang selama ini memang mengemban tugas mencegah dan memberantas TPPU.
Nah, di sini yang memegang peran penting adalah para PJK (termasuk bank) yang langsung berhadapan dengan transaksi para nasabahnya sehari-hari. Jadi, laporan transaksi keuangan dari PPATK sendiri sebenarnya sangat bergantung pada laporan PJK. PPATK selama ini tidak memiliki akses informasi secara langsung di lapangan. Informasi yang didapatkan tidak secara langsung, namun hanya berdasarkan LTKM dan LTKT dari para PJK. Berbagai bentuk transaksi yang normal-wajar-biasa, tidak wajib dilaporkan ke PPATK. Kendati, PPATK sebenarnya bisa meminta dan melakukan audit kepatuhan terhadap PJK (sesuai UU TPPU).
Jelas, kinerja ataupun laporan PPATK sangat bergantung pada kejujuran dan transparansi laporan para pengelola PJK. Dengan berbagai keterbatasan semacam ini, sangat disayangkan kalau semua kalangan belakangan ini banyak menumpukan (menaruh) harapan yang besar di pundak PPATK untuk mengurani benang kusut kasus korupsi di Indonesia.
Harapan itu bisa-bisa kandas di tengah jalan, di tengah limitasi PPATK. Hal ini sebenarnya sudah terlihat dari laporan PPATK untuk sementara waktu, karena transaksi yang mencurigakan (hingga saat terakhir) hanya berjumlah ratusan miliar rupiah. Sisanya yang diperkirakan berjumlah triliunan rupiah justru tidak terdeteksi sama sekali.
Dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003, khususnya pasal 27 ayat 2, PPATK sebenarnya bisa melakukan audit setelah berkoordinasi dengan lembaga yang mengawasi PJK, dalam hal ini BI atau Bapeppam-LK. Oleh sebab itu, untuk benar-benar menelusuri aliran dana ini, PPATK bisa bersinergi dengan BI atau Bapepam-LK untuk menelusuri lebih mendalam aliran dana-dana yang mencurigakan itu. Dalam konteks ini, pengertian mencurigakan adalah dana-dana yang mengalir ke rekening high risk customer (keluar dari profil nasabahnya), termasuk rekening para koruptor.
Politisi dan birokrat (termasuk anggota Polri) termasuk dalam kategori high risk customer (nasabah risiko tinggi). Mereka yang tergolong high risk customer ini bisa dipastikan sudah mengetahui masalah ini. Oleh sebab itu, mereka hampir dipastikan tidak memiliki rekening penampungan untuk menerima aliran dana semacam ini. Kalau punya, berarti sama dengan bunuh diri.
Oleh sebab itu, mungkin agak sulit menemui masalah semacam ini di kemudian hari. Yang sangat mungkin ditemukan adalah rekening oknum pengusaha tertentu yang memiliki afiliasi (hubungan perkoncoan/pertemanan) dengan para oknum birokrat, politisi, termasuk oknum pati Polri itu.
Tidak jarang pula para pencuci uang ini lebih suka dengan transaksi tunai, seperti yang dipergoki beberapa kali oleh aparat KPK di lapangan. Setelah diterima, oleh para koruptor ini uang tidak disimpan di bank, namun dibelikan tanah, properti mewah, mobil mewah, perhiasan emas dan berlian, uang kertas asing (UKA), dan kemudian disimpan di safe deposit box (SDB) di bank atau investasi dalam bentuk sektor keuangan (kospin, BPR, BMT, atau lembaga keuangan mikro/LKM) serta sektor riil. Hal semacam inilah yang sulit dideteksi aliran dananya. Oleh sebab itu, asas pembuktian terbalik perlu dilakukan dalam kasus semacam ini.
Akhirnya, keberlanjutan penyidikan kasus transaksi (rekening) mencurigakan oknum pati Polri sangat bergantung pada pihak kepolisian (dan kejaksaan) sendiri. Sebab, pihak PPATK sebenarnya sudah memberikan laporan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi TPPU kepada kepolisian dan kejaksaan.
Bola sudah bergulir ke sana. Masyarakat jelas sangat menunggu kejelasan dan penuntasan masalah ini secepatnya. Inilah kado terburuk yang harus diterima pihak Polri yang pada 1 Juli ini berulang tahun. Jika benar-benar bisa dibuktikan, pembenahan internal secara radikal di tubuh Polri perlu dilakukan untuk mengembalikan citra Polri yang telanjur terpuruk akibat ulah segelintir oknumnya. (*)
*) Susidarto, praktisi perbankan, tinggal di Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 Juni 2010