Uji Nyali Seleksi Pemimpin KPK

Diskursus pemberantasan korupsi belakangan sangat ramai diperbincangkan masyarakat, baik dalam forum-forum ilmiah, kaum intelektual, maupun obrolan masyarakat umum di warung kopi.

Bukan hanya itu, tema korupsi sangat sering disorot media massa, baik cetak maupun elektronik. Betapa tidak, pascareformasi bergulir pada 1998, term korupsi menjadi kata yang sangat populer.

Yang tak kalah menarik, korupsi ternyata tidak hanya populer secara terminologis. Perilaku korupsi juga telah menjadi semacam created culture yang secara sosiologis mengendap dan akhirnya mengakar di masyarakat.

Korupsi bahkan juga terjadi di berbagai lini kehidupan masyarakat kita. Pungutan liar dalam berbagai pelayanan publik seperti pembuatan akta kelahiran, KTP, SIM, pendaftaran sekolah, dan melamar kerja menjadi tempat bersarang tradisi korupsi. Bahkan, yang lebih ironis, korupsi juga terjadi di lembaga-lembaga agama.

Meski kadar nominal perilaku korupsi tersebut sangat terbatas, akumulasi nilai itu lambat laun menjadi gumpalan nilai -yang meski bertentangan dengan hukum dan hati nurani- yang terus menjamur dengan subur.

Dari latar belakang tersebut, usaha menggagas kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi, lebih-lebih di tengah momentum seleksi pemimpin KPK untuk periode 2007-2012, menjadi sangat menarik.

Bagaimanapun, figur kepemimpinan KPK dengan personel baru nanti sangat menentukan nasib pemberantasan korupsi di Indonesia.

Berkarakter

Setidaknya, ada empat karakter yang harus dimiliki pemimpin KPK. Pertama, pemimpin KPK harus memiliki wawasan luas serta menguasai teknik yang canggih dalam memberangus korupsi.

Setelah hampir empat tahun KPK mengusut berbagai jenis korupsi dengan berbagai modus operandinya, tentu para pelaku korupsi semakin memahami liku-liku korupsi dan banyak belajar cara menyembunyikan kebusukan mereka. Adagium yang menyatakan pencuri lebih pandai daripada polisi harus dijadikan spirit pemimpin KPK untuk selalu belajar dari pengalaman.

Pemimpin KPK harus mampu berpikir jernih, apakah dukungan kepada para tersangka korupsi berupa unjuk rasa, tanda tangan, bahkan cap jempol darah merupakan suatu pembelaan terhadap kebenaran berdasar refleksi hati nurani atau sekadar luapan emosional karena kedekatan ideologi dan garis kepentingan.

Selain itu, pemimpin KPK harus memahami apakah rekomendasi dari pemerintah terhadap salah satu kasus korupsi merupakan refleksi penegakan hukum atau malah hanya merupakan solidaritas korupsi yang melembaga. Pemimpin KPK juga harus benar-benar jeli melihat berbagai indikasi korupsi yang dilakukan kaum kerah putih karena tentunya memiliki tingkat kecanggihan yang sulit dideteksi.

Korupsi tidak hanya berbentuk penilapan uang negara, melainkan juga bisa berbentuk lain. Pemimpin KPK harus memiliki kecanggihan dan pengalaman dalam menjerat koruptor kelas kakap tersebut.

Kedua, pemimpin KPK harus merupakan figur yang memiliki integritas moral yang kuat, baik secara kultural maupun struktural. Menurut saya, itulah tugas yang bagi panitia pelaksana seleksi pimpinan KPK. Panitia yang dipimpin Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi itu harus benar-benar selektif dan berhati-hati dalam memilih pemimpin KPK.

Pemimpin KPK harus benar-benar figur yang bersih serta jujur. Mereka harus tidak pernah terjerat bahkan terindikasi terlibat korupsi. Hal itu bisa dilihat dari track record para calon pemimpin KPK yang mencapai 546 peserta yang telah lolos seleksi tahap pertama.

Panitia seleksi harus memiliki prosedur dan investigasi superketat dalam memilih 10 pemimpin KPK nanti. Hal itu sangat penting karena terkait dengan integritas lembaga KPK yang selama ini memiliki taring yang cukup tajam dalam memberantas korupsi di Indonesia. Bagaimanapun, air yang keruh tak akan mampu membersihkan najis dan noda.

Ketiga, pemimpin KPK harus merupakan sosok yang independen secara politik. KPK adalah figur yang tidak memiliki garis kedekatan ideologis dan struktural dengan lembaga-lembaga yang memiliki kemungkinan melakukan intervensi terhadap kebijakan KPK.

Kalaupun memiliki kedekatan ideologis maupun struktural, pimpinan KPK harus benar-benar mampu melepaskan diri dari kepentingan partai politik maupun lembaga lain yang memiliki kepentingan untuk mengamankan diri. Keempat, pemimpin KPK harus figur yang berani dan bernyali. Pemimpin KPK harus mampu menunjukkan sikap perjuangan tanpa pamrih. Tanpa tedeng aling-aling.

Pada titik itulah genderang perang terhadap korupsi dan realisasi taktis pemberantasan korupsi dimulai. KPK tidak boleh cenderung feodal-birokratis yang berlebihan.

KPK harus berani mengusut indikasi korupsi, meski terjadi di lembaga tinggi negara, baik eksekutif maupun legislatif, bahkan di lembaga tertinggi peradilan sekalipun. Wewenangnya dalam menggeledah ruangan kantor Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sehubungan dugaan suap tahun lalu cukup mengesankan. Meski pemeriksaan tersebut tidak berkelanjutan, at least hal tersebut menjadi spirit bahwa korupsi juga terjadi di lembaga-lembaga yang bahkan membentuk KPK.

M. Aliyulloh Hadi, mahasiswa Fakultas Humaniora UIN Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan