Upaya Kategorisasi Pengacara Menyesatkan

Kasus korupsi pejabat publik kembali menjadi sorotan media. Setelah mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Widjanarko Puspoyo, kini giliran Direktur Utama PT PLN Eddie Widiyono yang kena giliran. Ada beberapa indikasi bahwa penanganan kasus-kasus korupsi memang menggunakan model tebang pilih.

Tulisan ini tidak sedang mencoba membicarakan lebih jauh politisasi kasus korupsi lewat cara tebang pilih, tapi berusaha mencermati posisi pengacara yang terlibat masalah penegakan hukum--dalam hal ini kasus-kasus korupsi--berkaitan dengan profesinya.

Seluk-beluk perlawanan terhadap korupsi sering kali berkorelasi langsung dengan praktek busuk penegakan hukum, yaitu apa yang dikenal umum sebagai mafia peradilan. Berkaitan dengan praktek mafia peradilan ini, di kalangan praktisi hukum berkembang persepsi kelompok-kelompok pengacara. Pengelompokan (kategorisasi) itu dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi pengacara, model apa yang rentan terhadap praktek mafia peradilan atau bahkan ikut menyuburkannya.

Hasil kategorisasi mengelompokkan pengacara ke dalam tiga kelompok. Pertama, pengacara idealis yang dibagi dalam dua kelompok: yang senantiasa melakukan perlawanan terhadap praktek beperkara di pengadilan dengan cara menggunakan uang dan kekuasaan dan yang tidak melakukan perlawanan.

Kedua, pengacara pelangi, yang tetap tidak mau menggunakan uang dan kekuasaan, tapi membiarkan kliennya bila melakukannya sendiri. Yang termasuk dalam kelompok ini pengacara yang hanya akan menggunakan uang dan kekuasaan sejauh memang diminta klien. Mungkin prinsipnya, pengacara adalah pelaksana amanat klien. Ketiga, pengacara nekat yang berpraktek semata-mata dengan menggunakan uang dan kekuasaan, bukan dengan dalil-dalil hukum.

Kategorisasi itu untuk membuat fokus pekerjaan lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau organisasi profesi pengacara. Tapi cara mengambil kesimpulan yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok pengacara menepis kemungkinan terjadinya bias. Sebab, idealisme bukanlah sebuah nilai yang pasti dan bertahan imanen: tidak lapuk karena hujan, tidak lekang karena panas. Untuk itu, kapan pun pengacara idealis, pengacara pelangi, dan--apalagi--pengacara nekat sama-sama perlu diawasi.

Pengacara yang tergelincir dalam praktek mafia peradilan, mungkin saja pada beberapa kasus, merupakan sesuatu yang tidak diniatkan sebelumnya. Karena itu, kategorisasi kelompok-kelompok pengacara seperti yang kini berkembang itu perlu dikritik agar kita tidak terjebak dalam simplifikasi. Sebab, bisa jadi, alih-alih kategorisasi ditujukan untuk mempermudah upaya mendeteksi pelaku praktrk mafia peradilan, yang terjadi justru pengaburan terhadap upaya identifikasi pengacara dimaksud.

Jebakan silogisme
Identifikasi melalui kategorisasi kelompok pengacara harus dicermati dan disimpulkan dengan hati-hati, misalnya mempersepsikan pengacara idealis (kebanyakan) adalah pengacara yang pandai dan pengacara nekat kebanyakan pengacara yang bodoh. Pengacara bodoh didefinisikan sebagai pengacara yang tidak mementingkan pleidoi atau dalil-dalil hukum. Kepada mereka dianjurkan untuk kembali mulai membaca buku-buku hukum. Bila pernyataan tentang pengacara pandai-bodoh dibalik, maknanya tetap sama: pengacara pandai kebanyakan pengacara yang idealis dan pengacara bodoh kebanyakan pengacara yang nekat.

Kesimpulan terhadap kategorisasi tipe-tipe pengacara pada tataran permukaan memang cukup memukau kita untuk membenarkan. Bahkan misalkan dibuatkan silogisme atas kategorisasi tersebut, seolah-olah akan didapatkan kesimpulan yang betul-betul sahih. Silogisme itu akan berbunyi: semua pengacara idealis atau pengacara yang pandai tidak menggunakan uang dan kekuasaan ketika mengurus kepentingan perkara kliennya (premis mayor). Tuan X dan Nyonya Y adalah pengacara idealis atau pengacara yang pandai (premis minor). Karena itu, Tuan X dan Nyonya Y tidak menggunakan uang dan kekuasaan ketika mengurus kepentingan perkara kliennya (kesimpulan).

Bahaya dari kategorisasi yang terjadi dalam silogisme seperti itu menjebak kita untuk jatuh pada kesimpulan atas subyek (pengacara) sebagai sesuatu yang definitif (tak terbantahkan). Padahal subyek yang disimpulkan definitif itu sebetulnya jelas bukan sesuatu yang eksak.

Pernyataan bahwa pengacara idealis yang pandai itu dengan sendirinya tidak menggunakan uang dan kekuasaan dalam menjalani profesinya sebetulnya adalah asumsi. Keabsahan atas pernyataan itu tidak akan dapat disimpulkan definitif. Selalu ada kemungkinan: bisa ya, bisa juga tidak, sekalipun kecenderungannya tidak. Keyakinan seperti ini diperlukan untuk menghindari sterilisasi terhadap pengacara idealis yang pandai. Dengan demikian, mereka tidak diperlakukan istimewa atau luput dari pengawasan. Bila pencermatan seperti itu tidak terjadi, kategorisasi justru merupakan jalan sesat yang menuntun banyak pihak dalam mengawasi para pengacara yang terlibat praktek mafia peradilan.

Perlu dipertimbangkan bahwa idealisme dan nekat sebenarnya merupakan kategori moral. Adapun pandai atau bodoh merupakan kategori akademik. Artinya, mereka yang idealis tidak selalu merupakan pengacara yang pandai. Sebaliknya, mereka yang nekat tidak selalu merupakan pengacara yang bodoh. Karena itu, pikiran kita tidak terjebak dalam simplifikasi seperti persepsi yang kini berkembang. Fakta menunjukkan bahwa dalam semua profesi selalu ada mereka yang idealis sekalipun tidak pandai. Sebaliknya, selalu ada mereka yang nekat padahal mereka tidak bodoh.

De omnibus dubitandum, segala sesuatu harus diragukan, begitu peringatan Rene Descartes. Untuk melawan praktek mafia peradilan berkaitan dengan keterlibatan para pengacara, tidak ada alasan untuk membeda-bedakan pengacara idealis yang pandai dengan pengacara nekat yang bodoh. Moralitas yang perlu dipegang adalah hindari stereotip (diskriminasi). Sama sekali tidak ada pengecualian.

Jadi semua pengacara dalam kategorisasi di atas layak diragukan tidak (mungkin) melakukan praktek mafia peradilan: sampai terbuktikan secara faktual. Orang nekat atau bodoh--termasuk pengacara--tidak pernah menyembunyikan keburukannya. Kita justru perlu berhati-hati terhadap para idealis-siapa pun mereka--yang pastilah takut ketahuan ketika berbuat (apa pun penyebabnya) sesuatu yang buruk. Untuk itu, mereka sangat mungkin mempersiapkan cara guna menutup-nutupi perilaku buruk mereka itu.

Kita tidak boleh membiarkan kesimpulan yang bertumpu pada logika hitam-putih. Korupsi--praktek mafia pengadilan yang juga diincar KPK masuk kategori ini--merupakan kejahatan kerah putih (white collar crimes) yang kebanyakan mustahil dilakukan oleh mereka yang sekadar mengandalkan kenekatan. Karena itu, secara faktual, dalam banyak kasus, korupsi terbukti dilakukan juga oleh para idealis yang memang pandai dan notabene memiliki reputasi baik sebagai pengusaha, politikus, birokrat, dan akademisi.

Indikator kesuksesan
Kelemahan lain upaya kategorisasi pengacara yang mungkin tidak disadari banyak praktisi hukum adalah indikasi atas kesuksesan yang diraih pengacara dihubung-hubungkan dengan perolehan finansial. Banyak yang menyimpulkan bahwa beberapa pengacara sukses saat ini adalah pengacara-pengacara nekat: nekat tampil di pengadilan dan di depan publik, nekat pula menggunakan trik-trik beracara di pengadilan.

Indikasi keberhasilan para pengacara seharusnya ditujukan kepada para pengacara idealis yang pandai. Tapi, menurut kategorisasi yang berkembang, pengacara idealis yang pandai itu ternyata sering kali kalah atau dikalahkan dalam beperkara di pengadilan. Jadi, sekalipun kita menaruh hormat kepada pengacara idealis yang pandai, ternyata mereka itu tidak sukses menjalani profesi mereka. Bayangkan, pengacara idealis yang pandai dan tetap bertahan demi menegakkan martabat profesi tidak dinilai sebagai bentuk kesuksesan tersendiri.

Lantas apa yang layak diteladani dari pengacara idealis yang pandai itu apabila mereka didefinisikan sebagai pengacara yang tidak sukses? Ketidaksuksesan selalu berkonotasi negatif. Stigma seperti itu selayaknya tidak digunakan atau sama sekali tidak relevan dikemukakan kepada pengacara yang notabene justru menjaga martabat profesi. Bukankah betapapun rusaknya penegakan hukum akibat praktek mafia peradilan, kita masih memiliki pengacara idealis sebagai tempat becermin diri? Senantiasa mengukur indikasi keberhasilan seorang pengacara (pun profesi yang lain) semata berdasarkan implikasi finansial yang didapatkan, menyebabkan secara moral--sebetulnya--kita tidak memiliki kompetensi untuk membicarakan perlawanan terhadap praktek mafia peradilan.

Afnan Malay, Penulis, Tinggal di Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 27 Maret 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan