Urgensi Demokratisasi Penyusunan Perda

Belum lagi masalah kisruh keterlambatan penyerahan APBD ke pemerintah pusat kelar, kini muncul masalah baru yang tidak kalah rumit, yaitu banyaknya peraturan daerah yang ternyata belum dilaporkan kepada pemerintah pusat. Hingga 21 Mei 2007 lalu, masih ada 1.366 Perda tentang Pajak dan Retribusi yang belum masuk database Depkeu.

Dampak dari gelapnya jumlah peraturan daerah (perda) yang belakangan disebut sebagai salah satu biang ekonomi biaya tinggi sehingga mengurangi minat investasi di Indonesia jelas menyebabkan semakin memperparah proses pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik secara keseluruhan.

Berangkat dari persoalan mendasar itu, layak diajukan sebuah pertanyaan mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa sesungguhnya hak dan kewenangan yang harus dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait dengan masalah penyusunan perda ini.

Harus diakui bahwa salah satu motif mendasar yang menyebabkan pemerintah daerah begitu antusias menyusun peraturan daerah adalah karena pemerintah daerah menganggap bahwa perda adalah media mendulang emas, khususnya di bidang ekonomi-pembangunan. Lewat pembuatan perda, maka pemerintah daerah memiliki landasan hukum yang jelas untuk berbuat sesuatu.

Setidaknya, ada dua alasan mendasar mengapa pemerintah daerah tak menghiraukan seruan pemerintah pusat dalam pembuatan perda selama ini.

Pertama, diakui memang belum ada landasan hukum yang kuat setingkat peraturan pemerintah, apalagi undang-undang (UU). Secara tegas dijelaskan dalam UU No 34/2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam UU itu ditegaskan bahwa daerah bebas menerbitkan perda (Pasal 17) dan pemerintah pusat tidak mengatur sanksi apa pun dengan hak dan kewenangan menyusun perda tanpa meminta pengesahan dari pemerintah pusat (Pasal 20).

Kedua, keterlambatan pemerintah pusat dalam mencegah hak dan kewenangan pemda dalam penyusunan perda. Harus diakui bahwa seruan sekaligus perintah Menkeu Sri Mulyani agar pemerintah daerah melaporkan jumlah perda sekaligus segera menyusun APBD seperti peringatan beberapa waktu lalu dirasakan pemda sebagai peringatan yang mengada-ada sekaligus terlambat.

Berangkat dari dua alasan mendasar tersebut, sebenarnya sikap pemda yang tidak melaporkan perda-nya kepada pemerintah pusat bukan semata- mata kekeliruan pemda-apalagi dikatakan sebagai wujud mbalelo-tetapi lebih karena kemauan pemerintah pusat untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan daerah yang datang secara tiba-tiba, tanpa melalui proses demokratisasi penyusunan perda secara keseluruhan.

Tetapkan SOP
Dari berbagai kisruh administrasi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik selama ini, tampak jelas bahwa pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah perlu segera menetapkan apa yang selama ini dikenal dalam Total Quality Management of State Order (TQM-SO), yaitu perbaikan sistem pengelolaan mutu regulasi (publik) secara menyeluruh. Semangat TQM- SO ini memang sedang berbunga-bunga di tingkat pemerintah pusat, khususnya pada para menteri baru yang berasal dari setting akademik.

Terlepas dari suasana tersebut, hemat penulis apa yang dilakukan pemerintah pusat memang ada baiknya karena bagaimanapun produk hukum yang hidup dalam sebuah bagian wilayah kesatuan RI harus mencakup dan mencitrakan sebagai produk hukum negara kesatuan pada pemerintah pusat, tetapi yang perlu mendesak dilakukan pemerintah pusat dan daerah adalah segera membuat aplikasi Standard Operating Procedure (SOP), termasuk dalam hal prosedur penyusunan perda. Konsep ini sudah demikian lama diperdebatkan dalam sistem administrasi publik di Indonesia, tetapi belum terlihat dalam praksis.

Diakui perda yang selama ini tersusun di tingkat pemda memang belum sepenuhnya menggunakan sistem berjenjang. Bahkan, di banyak pemda, perda yang semestinya disusun dengan melibatkan DPRD, kadang sengaja ataupun tidak, tak memenuhi prosedur tersebut sehingga tak heran banyak perda yang akhirnya mentah di jalan atau bermasalah di kemudian hari.

Padahal, semestinya sebuah perda setidaknya harus melewati empat pintu. Yaitu disusun bersama-sama di tingkat pemerintah daerah (bupati/eksekutif dan DPRD kabupaten/kota) kemudian dikoreksi oleh pemerintah provinsi bersama-sama dengan DPRD provinsi dan terakhir dimintakan persetujuan oleh pemerintah pusat melalui departemen terkait, dan kalau perlu pemerintah pusat menyerahkan tim koreksi perda kepada anggota DPD sehingga peran DPD dalam pemberdayaan dan pembangunan daerah nyata terlihat.

Sayangnya, biasanya perda hanya disusun dan berkutat pada pemerintah lokal. Itu pun kadang sudah terjadi konflik yang tak sedikit antara eksekutif dan legislatif daerah dan sebaliknya pemerintah pusat terkaget-kaget dengan jumlah dan kualitas perda yang kadang menyusahkan pemerintah pusat atau memperburuk kondisi berbagai bidang kehidupan secara nasional.

Nah, sebelum terlambat dan berakhir dengan saling ancam yang hanya akan membuat masalah baru yang lebih rumit, hemat penulis memang perlunya pemerintah daerah dan pemerintah pusat duduk bersama, berdiskusi untuk memecahkan masalah tersebut. Bagi pemerintah daerah hal ini mungkin pengalaman baru dan bagi pemerintah pusat tak hanya butuh komunikasi, koordinasi, dan konsolidasi, tetapi jauh lebih mendesak dilakukan adalah menetapkan prosedur standar yang harus diikuti oleh pemerintah daerah.

UU 34/2004 atau UU 32/2004 mungkin perlu juga dievaluasi atau dibenahi dengan perumusan aturan PP atau keputusan presiden atau mungkin peraturan menteri yang lebih tegas dan tersandar dengan sanksi yang terukur sehingga tak mudah diinterpretasikan, apalagi dimaknai secara beragam oleh daerah. Penulis yakin, apa yang dilakukan pemerintah daerah bersama-sama dengan DPRD bukan untuk tujuan lain, tetapi semata-mata untuk menunjukkan kepastian hukum yang hingga kini masih centang-perenang dan belum ditetapkan secara nasional oleh pemerintah pusat.

Kinilah saatnya pemerintah pusat membuktikan diri dapat menjadi fasilitator dan mediator yang baik dan bijak menanggapi banyaknya perda yang ternyata tak dilaporkan kepada pemerintah pusat itu dan bukan sebaliknya main ancam seperti anak kecil yang hanya akan merugikan semua pihak. Nah!

Tasroh Pegawai Negeri di Banyumas sedang Studi S2 Double Degree Beasiswa Bappenas

Tulisan ini disalin dari Kompas edisi Yogya-Jateng, 4 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan