Urgensi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura

Setelah menanti 30 tahun, perjanjian ekstradisi RI dan Singapura ditandatangani Jumat (27/4) hari ini. Selain perjanjian ekstradisi, juga akan ditandatangani perjanjian kerja sama pertahanan antardua negara. Penandatanganan kedua perjanjian itu akan dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, oleh Menlu RI dan Menlu Singapura, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Singapura.

Kerikil Diplomatik
Penandatanganan perjanjian ekstradisi telah lama dinanti-nantikan, terutama oleh Indonesia yang merasa dirugikan oleh Singapura yang bersikap mengulur-ulur waktu saat Indonesia mengajukan usul pengembalian para kriminal ekonomi. Indonesia pertama menggagas perjanjian itu pada 1979, namun baru 28 tahun kemudian hal tersebut benar-benar terwujud. Penolakan Singapura itu menjadi salah satu kerikil yang mewarnai hubungan baik keduanya.

Adalah hal yang sangat menarik, setelah 28 tahun Singapura bersikeras menolak perjanjian ekstradisi, apakah hal yang membuat negara itu tiba-tiba berubah pikiran?

Apalagi bila mengingat baru-baru ini terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara. Ketegangan hubungan RI-Singapura itu muncul saat Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura. Keputusan Indonesia menghentikan penjualan pasir ke Singapura tersebut merupakan salah satu cara menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang selama ini diabaikan negara kota tersebut.

Selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Faktor pasir itu jelas menyumbang peranan penting sebagai penekan terhadap Singapura untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara itu atas aset pihak asing.

Menghadapi tuntutan tersebut, Singapura menyatakan adalah tanggung jawab Indonesia untuk menyelesaikan sendiri urusannya dengan para koruptor itu. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura.

Negara itu memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para koruptor. Memang benar korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerja sama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita.

Ketidaksediaan Singapura bekerja sama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.

Saling Menguntungkan?
Kesediaan Singapura tidak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama Singapura. Perjanjian ekstradisi itu menyangkut 42 butir tindak pidana.

Beberapa tindak pidana yang akan masuk dalam perjanjian ekstradisi,
antara lain, korupsi, pencucian uang, dan sejumlah kejahatan transnasional yang
diperjuangkan selama ini. Dengan keengganan Singapura bekerja sama dengan negara-negara tetangganya yang merasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan para kriminalnya yang berlindung di Singapura, maka predikat good governance Singapura yang bersih dan tidak korup dipertaruhkan. Tidak ada pilihan lain bagi Singapura untuk menerima tawaran penandatanganan perjanjian ekstradisi.

Namun, ada hal yang perlu diingat. Sekalipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani masing-masing menteri luar negeri, kesepakatan tersebut tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan. Perjanjian ekstradisi itu harus diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara, dalam hal ini oleh DPR RI. Proses ratifikasi dari parlemen membutuhkan waktu lama. Perlu kesabaran dari pihak RI yang lebih membutuhkan perjanjian itu dibandingkan dengan pihak Singapura.

Ada hal-hal krusial yang harus dipertimbangkan Indonesia dalam perjanjian tersebut. Apakah sistem hukum Singapura dalam hal ekstradisi dapat secara efektif mengembalikan para kriminal ekonomi Indonesia? Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan mengejar materi namun kehilangan substansi dari perjanjian yang sudah lama kita perjuangkan itu.

Materinya adalah penerimaan Singapura untuk menandatangani perjanjian itu, substansinya adalah efektivitas implementasi perjanjian tersebut yang berdampak pada pengembalian para penjahat ekonomi itu dan penciptaan clean government di tanah air. Artinya, karena sistem hukum yang berbeda antara RI dan Singapura, perjanjian ekstradisi itu tidak efektif untuk mengembalikan para penjahat ekonomi tersebut ke Indonesia. Kita juga berharap bahwa Indonesia tidak memberikan konsesi terlalu besar kepada Singapura yang berdampak negatif pada kepentingan nasional dan terancamnya kedaulatan negara.

Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para koruptor beberapa tahun ke belakang karena dapat berlaku mundur. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat mengembalikan aset nasional yang saat ini ngendon di Singapura.

Dalam kaitan ini, masalah korupsi dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia. Apakah perjanjian ekstradisi itu dapat efektif menyelesaikan beberapa persoalan dasar yang sebenarnya merupakan masalah internal Indonesia?

Baiq L.S.W.Wardhani, staf pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan