Urgensi Reformasi Birokrasi

Saat ini saya sedang berusaha menjadi warga negara yang lebih baik. Caranya, saya mendaftar sebagai wajib pajak (NPWP). Karena tidak tahu persis caranya, alangkah senangnya saya membaca sebuah iklan layanan masyarakat dari Ditjen Pajak di salah satu koran nasional minggu lalu.

Bunyi iklan sederhana itu, MILIKILAH NPWP sekarang juga! Mulai Maret 2007 Tim Ekstensifikasi Ditjen Pajak akan datang membantu ANDA untuk memperoleh NPWP bersamaan dengan pemutakhiran data PBB. Selanjutnya, di bagian bawah iklan ada tulisan, Informasi lebih lanjut hubungi: 021-5225139, 021-5736194, fax: 021-5736088, SMS: 08881084209, email: humas@pajak.go.id, website: www.pajak.go.id.

Berbekal iklan itu, pada 20 Maret 2007 saya menghubungi nomor telepon yang dicantumkan. Percobaan pertama pukul 2 siang tidak berhasil karena tidak ada yang mengangkat, meski saya telepon dua kali.

Karena tidak berhasil, saya mengirim SMS ke nomor HP yang disediakan. Bunyinya, Saya mau daftar NPWP. Bagaimana prosedurnya? Terima kasih. (M. Qodari). Karena SMS saya tidak berbalas, pukul 4 sore saya telepon lagi. Saya belum beruntung karena tetap tidak ada yang mengangkat telepon.

Karena telepon gagal dan SMS tak kunjung berbalas, malamnya saya browsing website Ditjen Pajak. Sayang, website itu kurang user-friendly, terutama untuk orang yang mau mendaftar pajak. Setelah mencari-cari, akhirnya saya bisa mengakses formulir pendaftaran NPWP.

Saya mencoba mengisi, namun batal karena bingung. Saya juga tidak yakin pendaftaran online akan berhasil. Wong, telepon saja gak diangkat. Jangan-jangan pendaftaran online saya nanti tidak diproses.

Saya tidak tahu apakah hal di atas cuma saya yang mengalami ataukah terjadi juga pada orang lain. Kalau terjadi pada orang lain, inilah cermin paling bening dari kinerja birokrasi di negara kita.

Birokrasi Tak Kunjung Membaik
Publik menginginkan perbaikan kinerja pemerintah. Namun, kinerja itu tidak kunjung membaik karena terhambat oleh birokrasi. Pajak adalah kasus yang sangat ilustratif. Presiden sudah menegaskan berulang-ulang tentang pentingnya meningkatkan pemasukan negara dari pajak. Infrastruktur dan teknologi informasi sudah demikian canggih (telepon, HP, internet), namun tidak membantu kinerja karena SDM-nya tidak responsif.

Pengalaman di atas tentu membuat kita berpikir, kalau kantor pajak saja pelayanannya seperti itu, bagaimana dengan kinerja birokrasi di bidang lain? Soal pajak, negara sangat berkepentingan karena itu sumber pendapatan negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai operasional pemerintah dan program pembangunan. Pajak adalah bidang yang mendatangkan pemasukan, bukan pengeluaran.

Jadi, jika ada warga negara yang mau aktif menjadi wajib pajak saja tidak dilayani dengan baik, bagaimana dengan nasib warga negara di bidang-bidang seperti kesejahteraan rakyat yang pemerintah harus mengeluarkan dana?

Pada titik itu, menjadi sangat relevan bila Indo Pos/Jawa Pos mendirikan Indo Pos Institute for Bureaucracy Reform. Hal itu juga sangat relevan dengan situasi politik kontemporer yang sedang gaduh dengan isu reshuffle kabinet. Kalau kita kembalikan pada hakikatnya, maksud dan tujuan dari kocok ulang kabinet itu adalah upaya perbaikan kinerja pemerintah.

Masalahnya, yang menentukan kinerja pemerintah itu bukan hanya kinerja atau kompetensi menteri-menteri. Variabel yang juga penting adalah manajemen dan kepemimpinan presiden dan wakil presiden sebagai pemimpin kabinet serta kinerja birokrasi sebagai pelaksana program pemerintahan.

Manajemen dan kepemimpinan presiden dan wakil presiden sudah sering dibahas. Gaya kepemimpinan dan kerja sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla sudah kita ketahui bersama. Banyak pula kritik yang dilontarkan.

Masalahnya, kontrak politik untuk keduanya adalah lima tahun. Ketidakpuasan terhadap SBY-Kalla yang berujung pada penggantian keduanya harus menunggu pemilihan presiden pada 2009.

Perlunya menjaga kesinambungan aturan main demokrasi dan regularitas penggantian kepemimpinan membuat kita menghindari opsi mengganti presiden dan Wapres di tengah jalan.

Pergantian menteri pada saat ini pun banyak kendalanya. Pertama, waktu yang tersisa untuk pemerintahan SBY-Kalla tidak terlalu panjang. Jika diasumsikan 2009 konsentrasi orang sudah terarah pada pemilu legislatif dan presiden, waktu efektif untuk menteri bekerja hanya sekitar 1,5 tahun. Itu pun akan termakan enam bulan masa orientasi dan adaptasi dari menteri yang baru ditunjuk.

Kedua, seberapa hebat dan kompetennya seorang menteri, kinerjanya tidak akan maksimal karena eselon satu dan dua serta birokrasi di bawahnya bekerja dengan logika dan kultur tersendiri yang tidak kondusif untuk kinerja memuaskan.

Seorang menteri yang jenial sedikit banyak akan mampu memengaruhi kinerja birokrasi di kementeriannya. Namun, dengan kondisi birokrasi sekarang ini, niscaya pengaruh itu akan terbatas. Lebih jauh, masalah birokrasi adalah persoalan fundamental ketika kita berbicara tentang perbaikan kinerja pemerintahan secara menyeluruh.

Karena itu, perbaikan terhadap kinerja birokrasi harus dibicarakan dalam sebuah grand design yang melibatkan semua sektor pemerintahan dan dikomandani langsung oleh presiden selaku kepala pemerintahan.

Untuk diingat, perubahan politik yang dijalani Indonesia sejak 1998 adalah reformasi politik. Kita sudah mengalami kemajuan dalam reformasi politik dengan buah berupa sistem politik yang jauh lebih demokratis dibandingkan masa Orde Baru. Yang belum kita kerjakan dan rasakan hasilnya secara nyata adalah reformasi birokrasi.

Hanya dengan reformasi birokrasi, demokrasi Indonesia akan disusul dengan perbaikan kualitas hidup yang lebih makmur dan sejahtera. Reformasi birokrasi adalah PR (pekerjaan rumah) kita yang masih tersisa.

Muhammad Qodari, direktur eksekutif, Indo Barometer, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 Maret 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan