Wapres Kecewa Bakal Cawagub Diperas Parpol

Pengunjuk Rasa Ragukan Pendaftaran Pemilih

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, mengaku kecewa adanya pensiunan jenderal yang bakal dicalonkan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta harus menyetorkan sejumlah dana kepada partai politik.

Kalla meminta supaya hal itu diusut sampai tuntas sebab jika tidak, hal itu merusak tatanan demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia. Jangan rakyat yang kecewa, saya juga kecewa jika ada partai politik meminta uang para jenderal untuk menjadi calon gubernur. Kita setuju itu diusut tuntas mengingat itu akan merusak tatanan demokrasi, kata Wapres kepada pers di Jakarta, Jumat (22/6).

Sebelumnya diberitakan, dua bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta, Djasri Marin dan Slamet Kirbiantoro, merasa dipermainkan dan diperas oknum pengurus partai politik pada pencalonannya dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Mereka berniat menagih balik setoran ke pengurus parpol itu (Kompas, 16/6).

Belakangan, Slamet, yang mengaku telah menerima pengembalian sebagian dana yang pernah diminta pengurus partai politik, mengimbau agar setoran dana dari calon kepala daerah kepada partai politik diatur dan dilegalkan (Kompas, 21/6).

Wapres mengakui untuk menjadi calon gubernur dalam pilkada selalu membutuhkan dana. Akan tetapi, caranya tidak seperti itu. Untuk menjadi calon perorangan seperti menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah, misalnya, dia tetap membutuhkan dana. Kalau dia minta KTP, kan tentu orang minta bayar minimum Rp 10.000 atau Rp 20.000. Kalau dikumpulkan 100.000 KTP, ya mencapai Rp 2 miliar juga ongkosnya. Jadi, tidak ada yang gratis, ujarnya.

Ditanya tentang dana tersebut dilegalkan saja, Kalla menjawab, Itu namanya jual beli lagi.

Calon independen

Kalla menampik ide calon independen dalam pilkada Jakarta seperti di Aceh. Di Aceh ada calon independen karena dicantumkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh karena Aceh sebelumnya konflik. Dengan masuknya GAM yang ikut pemilu sehingga ada perwakilannya, maka ada calon independen. Namun, itu untuk satu kali, dengan bukti KTP, kata Wapres.

Minta diundurkan

Jumat kemarin, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Forum Betawi Rempug mengepung Kantor Gubernur DKI Jakarta dan Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Massa yang menuntut pengunduran jadwal pilkada itu sempat dorong-mendorong dengan polisi saat memaksa masuk ke kantor KPUD. Humas aksi, Agus Jatmiko, mengatakan, PKS menemukan indikasi adanya 22 persen warga DKI Jakarta yang tidak terdaftar atau sekitar 1,3 juta jiwa. Di sisi lain, terdapat sekitar 21 persen pemilih atau sekitar 1,2 juta jiwa yang tidak jelas.

Sementara koordinator aksi, Agus Supriyatna, mengatakan, sebagian dari 1,2 juta warga yang namanya tercantum sebagai pemilih ternyata adalah penduduk yang telah meninggal dunia. Sebagian lagi adalah penduduk yang pindah tempat tinggal di luar Jakarta.

Data tersebut diperoleh dari penelitian dengan pengambilan sampel acak oleh PKS terhadap kadernya di 145 kelurahan dari 267 kelurahan di Jakarta dan hasil survei LP3ES. Hasilnya, 33 persen kader PKS tidak terdaftar, tetapi ada warga yang telah meninggal atau pindah tetap tercatat resmi sebagai pemilih.

Menanggapi tuduhan, Ketua KPUD DKI Jakarta Juri Ardiantoro mengatakan, data LP3ES mengenai 22 persen warga yang tidak terdaftar atau sekitar 1,3 juta jiwa didapat dari survei pada 13-17 Juni. Sementara pendaftaran tambahan dilakukan sampai 19 Juni sehingga sudah banyak yang tercatat.

Berdasarkan hasil pendaftaran tambahan, jumlah calon pemilih tambahan diperkirakan mencapai 400.000 orang sehingga total pemilih sekitar enam juta orang.

Dengan demikian, kata Juri, jika hasil survei LP3ES benar, penduduk DKI Jakarta yang mempunyai hak pilih adalah 7,3 juta jiwa, dari enam juta calon pemilih terdaftar ditambah 1,3 juta pemilih tidak terdaftar. Jumlah itu tidak masuk akal karena jumlah total warga Jakarta adalah 7,8 juta jiwa. (ECA/NEL/har)

Sumber: Kompas, 25 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan