Wapres Sebut Bank Rampok Uang Negara; Prihatin Dana di SBI Capai Rp 220 Triliun

Tingginya dana perbankan yang disimpan di SBI (Sertifikat Bank Indonesia) membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla prihatin. Apalagi sebagian dana perbankan itu berasal dari pinjaman luar negeri.

Itu perampokan luar biasa. Perampokan Rp 220 triliun uang negara, tegas Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menjadi pembicara dalam Rapat Kerja Nasional Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) di Balai Sidang, Senayan, kemarin.

Tingginya bunga SBI-lah, kata Kalla, yang menjadi pendorong bank menyimpan uang di bank sentral. Dengan suku bunga kredit luar negeri lima persen per tahun dan suku bunga SBI 12 persen per tahun, perbankan dapat langsung menangguk untung tujuh persen tanpa keluar keringat.

Di depan ratusan pengusaha, Wapres menunjuk salah satu bank swasta terbesar di Indonesia yang memiliki investasi di SBI hingga Rp 30 triliun. Menurut Kalla, tahun lalu bank tersebut mampu memperoleh laba dari investasi di SBI hingga Rp 2,5 triliun tanpa perlu memutar dana masyarakat ke sektor riil.

Kalau begini semua, ini perampokan namanya. Sudah dibayarin BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), masih juga utang (ke luar negeri, Red). Dia (bank) masukin duit, kita bayar bunga. Bagaimana negara ini tidak hancur. Ini kita buka-bukaan sekarang, ungkapnya.

Wapres juga menyindir Dirut-Dirut bank-bank BUMN yang memilih aman dengan menginvestasikan sebagian besar dana masyarakat ke SBI. Wapres kembali mengancam akan mengganti direksi bank BUMN yang tidak membiayai sektor riil. Hai Dirut Bank Mandiri, buat apa kau simpan uangnya. Keluarkan untuk membiayai pembangunan. Siapa yang tidak mau berarti tidak mau jadi Dirut, ancamnya.

Wapres menegaskan, Indonesia lamban tumbuh karena terjerat tiga masalah pokok, yakni bunga bank yang tinggi, harga listrik industri yang mahal, serta infrastruktur yang tidak memadai. Untuk itu, pemerintah dan Bank Indonesia berupaya menurunkan tingkat suku bunga hingga mendorong perbankan menyalurkan pembiayaan ke sektor riil. Mulai sekarang kita turunkan bunga, tandasnya.

Pada masa krisis ekonomi, kata Kalla, sekitar 60 persen dana APBN digunakan untuk anggaran pembangunan. Saat ini, alokasi anggaran pembangunan dalam APBN justru tinggal 25 persen karena anggaran negara habis untuk membayar angsuran bunga dan pokok utang, membayar subsidi bahan bakar minyak, dan membayar bunga SBI. Akibatnya, kemampuan pertumbuhan ekonomi kita hanya 4-5 persen, paparnya.

Untuk mengimbangi pertumbuhan pengangguran dan kemiskinan, kata Kalla, pemerintah membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi minimal tujuh persen. Untuk memacu pertumbuhan hingga tingkat tujuh persen, pemerintah membutuhkan dana Rp 1.200 triliun.

Kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5,5 persen, kita tidak bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Hanya pas-pasan, terangnya.

Untuk itu, pemerintah berupaya menurunkan tingkat suku bunga bank, membangun pembangkit listrik 10 ribu MW, dan membangun 1.000 kilometer jalan tol.

Kalla juga mengaku heran pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mampu mendekati Tiongkok. Padahal, Indonesia hanya memiliki 200 juta penduduk, sedangkan penduduk Tiongkok 1,4 miliar.

Kalla menandaskan, suatu negara akan dipandang oleh masyarakat dunia bila berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dia mencontohkan Tiongkok dan India yang kini menjadi masyarakat terhormat dunia.(noe)

Sumber: Jawa Pos, 28 Maret 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan