Whistleblower Pajak
Mencengangkan sekaligus membanggakan. Itulah informasi yang terjadi saat Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengumumkan bahwa 502 pegawai pajak dijatuhi hukuman. Akibat penghukuman tersebut, negara menghemat Rp 4,45 miliar, yang merupakan dana remunerasi yang tidak dibayarkan kepada pegawai yang terkena sanksi. Banyaknya pegawai yang dijatuhi hukuman jelas menimbulkan banyak pertanyaan. Satu di antaranya, apakah penjatuhan hukuman tersebut efektif atau tidak dalam proses melanjutkan reformasi di bidang perpajakan.
Dari data yang dipublikasikan tersebut, memang tidak dijelaskan apakah jumlah pegawai yang dihukum berkaitan dengan program pengawasan yang sedang digencarkan melalui mekanisme whistleblower. Yang pasti, peran serta masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan tindakan pelayanan publik yang dilakukan pegawai (pajak) sudah tentu amat diperlukan.
Ketentuan yang mengatur secara formal mekanisme pengawasan dengan melibatkan peran serta masyarakat memang telah ada sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2000. Tetapi PP tersebut belum efektif dan tersosialisasi dengan baik. Ketika beberapa kasus pajak muncul, Kementerian Keuangan tampaknya mulai melihat pentingnya peran serta masyarakat dalam kaitan dengan pembenahan pegawai. Lalu, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.09/2010, yang mengatur tindak lanjut pelaporan pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Kementerian Keuangan.
Peraturan Menkeu tersebut menjelaskan kepada masyarakat yang melihat atau mengetahui adanya pelanggaran, atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan, bahwa masyarakat dapat melaporkan kepada Unit Kepatuhan Internal atau unit tertentu atau unit Inspektorat Jenderal.
Secara struktur organisasi, Direktorat Jenderal Pajak telah mempunyai unit kepatuhan internal yang disebut dengan nama Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA). Direktorat inilah yang menangani persoalan apabila ada pejabat/pegawai pajak yang melanggar kode etik pegawai serta memberikan sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran lainnya sesuai dengan kode etik dan aturan kepegawaian yang berlaku.
Dalam tugasnya, unit kepatuhan internal pajak akan melakukan pemeriksaan dan memberi rekomendasi yang dapat berupa penjatuhan hukuman disiplin, pengembalian kerugian negara, melimpahkan kepada kepolisian, atau melimpahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Khusus untuk rekomendasi yang akan disampaikan kepada pihak kepolisian, hal itu dilakukan dalam hal hasil pemeriksaan berindikasi tindak pidana umum. Sedangkan yang disampaikan ke KPK adalah dalam hal pemeriksaan berindikasi tindak pidana korupsi.
Alat kontrol
Dalam pandangan penulis, PMK tersebut sangat perlu sebagai bagian dari sistem pengawasan (kontrol) terhadap seluruh pegawai pajak. Terobosan Menkeu mengeluarkan aturan seperti itu patut menjadi acuan instansi lain untuk juga melakukan hal yang sama. Karena, bicara pajak tidak hanya bicara dari sisi penerimaan, tetapi juga sisi penggunaan atau pengeluarannya.
Jika saja semua instansi pemerintah pengguna uang pajak juga mengeluarkan aturan yang sama, bisa dibayangkan begitu pesatnya kemajuan pembangunan yang dapat dirasakan seluruh masyarakat. Keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan melalui uang pajak akan menjadi kenyataan yang bisa dinikmati bersama.
Sayangnya, pemangku kepentingan masih belum sepenuhnya mendukung hal dimaksud. Barangkali perlu perenungan dan tindakan nyata segera dari semua pihak untuk mewujudkan kemajuan yang kita inginkan. Dari sisi budaya bangsa, melibatkan peran serta masyarakat merupakan wujud nyata kegotong-royongan yang perlu dipikul bersama.
Proses pelayanan publik tentunya memerlukan peran serta masyarakat. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan terjadinya penyimpangan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah penyakit kronis yang harus diberantas secara bersama-sama. Dengan melibatkan peran serta masyarakat, setiap pegawai tentu akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas pelayanan publiknya.
Ketika mengkaji PMK tentang pelapor pelanggaran (whistleblower) tersebut, dua hal menarik dapat dikemukakan. Pertama, transparansi membuka saluran pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan dalam pemberian pelayanan, menjadi agenda pokok yang amat dibutuhkan sebagai alat kontrol berjalannya tata kelola pemerintahan yang baik. Kedua, pemerintah diwajibkan memberikan penjelasan soal laporan yang disampaikan masyarakat, sehingga bisa diketahui perkembangan penyelesaiannya.
Dua hal di atas ingin menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah begitu serius dalam menangani persoalan pegawai bila ditemukan penyimpangan dalam proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, Inspektorat Jenderal punya kewajiban memberikan penjelasan kepada pelapor (Pasal 16 PMK). Lalu, bagaimana dengan perlindungan whistleblower? PMK di atas mengatur dengan tegas akan menjaga kerahasiaan identitasnya. Tetapi, untuk keperluan penyidikan dan persidangan di muka hakim, identitas pelapor dapat diungkapkan. Prinsip hukum umum memang mengharuskan demikian. Untuk itu, masyarakat perlu mengetahui dan tidak perlu enggan turut berperan serta guna menatap masa depan Indonesia yang lebih baik.
Niat
Sekalipun pemerintah memerlukan peran serta masyarakat, kiranya perlu tetap ada niat baik dari si pelapor. Artinya, yang dilaporkan bukanlah yang bersifat personal, melainkan lebih ke arah pelayanan yang tidak memuaskan dan melanggar undang-undang serta kode etik. Laporan tidaklah bersifat fitnah belaka atau kecurigaan yang tidak mendasar.
Dengan niat baik pelapor, paling tidak hal itu telah menjadi alat kontrol berjalannya pelayanan publik yang diharapkan. Dengan niat baik ini pula pastinya pemerintah telah mendapat kepercayaan kembali dari masyarakat. Pulihnya kepercayaan masyarakat pada akhirnya bisa membangkitkan kepedulian semua pihak akan arti pajak bagi pembangunan bangsa. Perlunya pengawasan melalui whistleblower ini kiranya akan menciptakan proses pelayanan dan tata kelola pemerintahan yang semakin baik, yang bisa ditularkan ke semua institusi pemerintahan yang ada.
Richard Burton, pengajar di Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 November 2010