Yudhoyono dan Para Makelar yang Dikecamnya

Setelah unggul dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden putaran kedua, 20 September 2004, Susilo Bambang Yudhoyono tampil ke muka dengan suara lantang, mengecam aksi para makelar pencari keuntungan di sekitarnya. Jangan terpengaruh adanya makelar yang mengaku dekat SBY dan meminta imbalan. Itu pengkhianat namanya. (Kompas, 9/10/2004)

Kecaman kepada makelar di sekitarnya disampaikan Yudhoyono di depan rakyat dari berbagai daerah yang datang ke pendapa rumahnya di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, 8 Oktober 2004, sebelum shalat Jumat. Hari-hari menjelang pelantikan itu, dia sedang mencari dan menyeleksi calon menterinya.

Ketika kecaman diucapkan, tidak jelas siapa orang di sekitarnya yang disebut sebagai makelar dan berkhianat. Saat itu memang tiba-tiba banyak orang yang merasa dekat dan memang mendekat ke Yudhoyono, yang sudah pasti akan menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Megawati Soekarnoputri.

Ketika itu, Yudhoyono seperti lampu terang di tengah gelap yang dilekati laron yang sebelumnya hidup dan bersembunyi di bawah tanah. Di antara laron itulah, Yudhoyono mendapati makelar yang mengaku dekat dengannya dan menjanjikan jabatan dengan meminta sejumlah uang sebagai imbalan.

Episode kecaman lantang yang disampaikan Yudhoyono itu sampai kini tanpa kejelasan siapakah gerangan makelar pengkhianat yang dimaksudkan. Karena, kecaman itu kemudian tertutup isu lain soal pengisian jabatan menteri yang seleksinya memang sedang dilakukan.

Setelah separuh jalan pemerintahan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri membeberkan aliran dana yang dikumpulkan departemennya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak September 2001 hingga Maret 2005, terkumpul dana Rp 23,842 miliar. Sepanjang tahun 2004, disebutkan mengalir dana Rp 1,592 miliar ke lima tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Tim sukses pasangan Yudhoyono-M Jusuf Kalla menerima aliran terbesar dengan Rp 477,5 juta, disusul Amien Rais-Siswono Yudhohusodo Rp 400 juta, Megawati-Hasyim Muzadi Rp 280 juta, Wiranto-Sholahuddin Wahid Rp 220 juta, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar Rp 215 juta. Penerimaan dana ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Dana DKP juga mengalir ke sejumlah nama yang dalam berita acara pemeriksaan tertera sebagai tim sukses pasangan Yudhoyono-Kalla, lengkap dengan tanggal penerimaan. Di antara mereka tercantum Blora Center. Namun, mereka membantahnya.

Terhadap dana DKP ini, Presiden Yudhoyono melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengaku tidak menerima. Presiden meminta kepada KPK mengusut dan mengungkap ke mana aliran dana itu sebenarnya mengalir agar menjadi gamblang bagi rakyat.

Blora Center yang didirikan Sudi Silalahi untuk komunikasi dengan Yudhoyono, 23 Agustus 2004, juga menghilang setelah menjadi Yayasan Blora Institute setahun kemudian. Terhadap dana ke Blora Center yang diterima tiga hari sebelum kecaman Yudhoyono, Ketua Yayasan Blora Institute Taufik Rahzen mengemukakan, penerimanya adalah makelar.

Saya ingin itu diungkap. Hadirkan kebenaran. Jangan dijadikan permainan persepsi dan gosip politik. Jika kebenaran tak dihadirkan, trust yang masih tersisa akan hilang karena semua kini dipersepsikan negatif, ujarnya.

Keterlibatan pribadi dan lembaga yang selama ini dipersepsikan bersih dari korupsi menjadi pertaruhan bagi sistem demokrasi yang tengah dibangun, setelah penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum pun kehilangan legitimasi sebab korupsi. Jika kebenaran tak segera dihadirkan, rakyat makin tak percaya pada demokrasi yang tengah diperjuangkannya.

Kini upaya menggenggam kembali kepercayaan yang perlahan-lahan hilang ada di KPK dan pengadilan. Dukungan untuk pengungkapan kebenaran telah diberikan. Kita tidak ingin melihat demokrasi yang dengan susah payah diperjuangkan digadaikan makelar yang tak jelas itu dan dibiarkan tanpa penindakan. (Wisnu Nugroho)

Sumber: Kompas, 2 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan