Yusril: Perpanjangan Hilton Berpotensi Rugikan Negara

Perkara segera dilimpahkan, tinggal satu alat bukti.

Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menilai perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton oleh PT Indobuild Co. berpotensi menyebabkan kerugian negara. Namun, dia enggan menyebutkan jumlah kerugian negara yang timbul dalam kasus itu.

Menurut dia, perpanjangan hak guna bangunan itu dinilai cacat hukum karena tanpa seizin Badan Pengelola Gelora Bung Karno sebagai pemegang hak pengelola lahan seluas 13 hektare di kompleks Gelora Bung Karno. Mereka tidak memberikan kontribusi kepada pemegang hak pengelola atas penggunaan lahan, kata Yusril di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, kemarin.

Yusril memenuhi panggilan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia dimintai keterangan sebagai saksi kasus Hilton. Inti pertanyaan selama pemeriksaan, apakah negara merasa dirugikan dalam kasus ini, katanya seusai pemeriksaan selama dua jam itu.

Bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan yang diserahkan ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada akhir November lalu. Audit itu terkait dengan dugaan korupsi pengelolaan aset-aset negara di bawah Sekretariat Negara, antara lain Kemayoran dan Gelora Senayan. Tim Pemberantasan menetapkan empat tersangka, yakni Direktur Utama Indobuild Co. Pontjo Nugroho Sutowo, mantan pengacara Indobuild Co., Ali Mazi, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Jakarta Robert J. Lumampouw, dan mantan Kepala Badan Pertahanan Nasional Wilayah Jakarta Pusat Ronny Kusuma Yudistira.

Persoalan ini berawal pada 1971. Tanah di kompleks Senayan itu berada dalam penguasaan dan pengelolaan Yayasan Gelora Senayan, yang kemudian sebagian dikelola Yayasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat.

Sejak 1973, kata Yusril, Indobuild Co. mendapatkan hak guna bangunan yang akan berakhir pada 2003. Seharusnya Indobuild Co. mengembalikan tanah itu ketika masa izin hak guna bangunan itu habis pada 2003. Ternyata, pada 2002, tanpa izin dan perjanjian, Indobuild mengajukan perpanjangan hak guna bangunan, ujarnya.

Apalagi, kata Yusril, Badan Pertanahan Nasional pada 1989 telah memberikan hak pengelolaan lahan kepada Badan Pengelola Gelora Bung Karno. Saat itu, kata Yusril, ada perundingan yang mengharuskan pemegang hak guna bangunan memberikan US$ 200 ribu per tahun kepada pengelola. Tapi hal itu belum terealisasi, ujarnya.

Yusril mengatakan Sekretariat Negara pernah berencana memperkarakan kasus ini secara perdata. Tapi, karena kejaksaan sudah masuk menangani kasus ini, Sekretariat Negara menunggu saja hasil penyelidikan dan penyidikan.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Hendarman Supandji mengatakan kasus dugaan korupsi Hilton segera dilimpahkan ke penuntutan. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus itu, tim tinggal melengkapi satu alat bukti. Tapi Hendarman menolak menyebutkan alat bukti itu. Alasannya, kata Hendarman, Kalau disebutkan nanti takut dihilangkan. AGOENG WIJAYA

Sumber: Koran Tempo, 20 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan