Badan Gizi Nasional Harus Transparan Mengelola Program Makan Bergizi Gratis

Dokumentasi Konferensi Pers MBG di Kantor ICW
Dokumentasi ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). ICW menilai program MBG cacat dari sektor anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan. Selain itu, segala informasi mengenai program MBG tertutup untuk publik. 

Selama dua bulan program MBG berjalan, setidaknya terdapat tiga masalah mendasar dalam program MBG. Pertama, belum ada kebijakan yang mengatur tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG secara komprehensif. Hasil penelusuran ICW mengenai kebijakan MBG menyimpulkan, bahwa produk kebijakan yang dilahirkan hanya mengakomodir ambisi Prabowo agar MBG bisa berjalan di awal kepemimpinannya sejak tahun 2025. 

Rentetan kebijakan MBG dapat terlihat dari terbitnya Perpres 83/2024 tentang pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai Koordinator Pelaksana Program MBG yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada 15 Agustus 2024. Dalam waktu empat bulan, program MBG dijalankan di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian dalam perjalanan program, ada pemotongan anggaran negara untuk membiayai MBG dan program Presiden lainnya. Perencanaan dalam waktu singkat, minim transparansi informasi dan pelibatan stakeholders maupun publik, serta larangan mempublikasikan program MBG menjadi kombinasi jitu untuk menghabiskan anggaran dan membuka peluang besar terjadinya korupsi. 

Kedua, perhitungan kebutuhan anggaran MBG yang serampangan berdampak pada pemangkasan anggaran pemerintahan. Penyisihan dan pengumpulan anggaran dimulai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Dua hari setelah Inpres 1/2025 diterbitkan, Kementerian Keuangan menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tertanggal 24 Januari 2025 tentang Efisiensi Belanja K/L dalam Pelaksanaan APBN TA 2025. Dalam lampiran II S-37/MK.02/2025 disebutkan daftar 16 pos belanja yang dapat dipangkas. Meski telah ditekankan bahwa pemotongan anggaran tidak termasuk belanja pegawai dan bansos, namun realitanya banyak program yang tidak termasuk prioritas K/L/PD namun berkaitan dengan manusia menjadi terdampak. 

Menteri Keuangan menyebutkan bahwa anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp306,6 triliun dengan Rp100 triliun yang dikumpulkan akan diberikan kepada BGN. Sedangkan Kepala BGN menyebutkan bahwa program MBG hanya membutuhkan anggaran Rp1 triliun per bulan, artinya dalam 12 bulan yang dibutuhkan adalah Rp12 triliun. Bagaimana penggunaan Rp82 triliun sisanya? ICW menduga bahwa anggaran ini akan dipakai untuk operasional BGN yang bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan untuk mencetak Sarjana Penggerak Pertumbuhan Indonesia (SPPI) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ditargetkan mencapai 5000 SPPG. Mirisnya, di tengah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengurangan penggunaan fasilitas publik, SPPI diproyeksikan akan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) BGN.

Ketiga, mekanisme pengadaan MBG yang tidak transparan. Program MBG membutuhkan bahan pangan, kemasan makanan, ahli gizi, juru masak, distributor ke penerima manfaat, dan hal lainnya yang terkait. Namun masyarakat sulit mengakses informasi tersebut. ICW menyisir data SPPG yang dipublikasi di media, setidaknya per akhir Januari baru terdapat 190 SPPG dari target BGN sebanyak 500-937 SPPG selama bulan Januari-Februari 2025. Dari penelusuran tersebut, ICW menemukan adanya SPPG yang menguasai lebih dari satu wilayah kecamatan misalnya di Provinsi Kepulauan Riau, dengan alamat dapur yang sama. Padahal jika merujuk pada petunjuk teknis BGN terdapat ketentuan lokasi SPPG harus dalam radius 6 km dan/atau waktu tempuh 30 menit ke lokasi penerima manfaat. 

Tertutupnya informasi pengadaan MBG ini berdampak pada kualitas makanan yang diterima penerima manfaat, dan tidak terserapnya bahan pangan lokal. Selain itu, minimnya informasi latar belakang SPPG berpotensi tinggi menimbulkan konflik kepentingan dengan verifikator BGN, monopoli, bahkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Untuk itu, ICW yang tergabung dalam koalisi MBG mendesak BGN untuk:

  1. Dalam meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran program MBG, BGN harus membuka rincian anggaran secara terbuka, termasuk perhitungan anggaran yang jelas untuk setiap pos dan sumber alokasi anggaran, serta memastikan bahwa penggunaan anggaran tepat sasaran.
  2. Menjamin keterbukaan informasi kepada publik mengenai progres dan hasil pelaksanaan program MBG. Hal ini mencakup informasi mengenai jumlah penerima manfaat, lokasi distribusi, serta ketersediaan bahan pangan yang sesuai dengan standar gizi yang ditetapkan.
  3. Melakukan pengawasan internal, eksternal, dan evaluasi reguler terhadap pelaksanaan program MBG, dan menginformasikan kepada publik.
  4. Menginformasikan mekanisme pengadaan yang jelas dan terbuka, misalnya proses pengadaan bahan pangan, kemasan makanan, dan pihak terkait lainnya dilaksanakan dengan mekanisme yang jelas dan sesuai aturan pengadaan pemerintah. Hal ini untuk mencegah praktik monopoli, penyalahgunaan kekuasaan, atau persaingan usaha tidak sehat, serta memastikan bahwa makanan yang didistribusikan sesuai dengan standar gizi yang dibutuhkan.


 

Jakarta, 7 Maret 2025

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Contact Person:

Dewi Anggraeni, Peneliti ICW

Rofi', Peneliti ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan