Gagasan Capres-Cawapres: Belum Menjawab Akar Persoalan Pendidikan
Indonesia Corruption Watch (ICW), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dan Indonesia Budget Center atas gagasan pendidikan capres-cawapres 2024 menilai bahwa gagasan capres-cawapres soal pendidikan tidak menunjukkan solusi persoalan mendasar pendidikan secara komprehensif, inovatif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Kebijakan yang ditawarkan bersifat umum dan banyak merepetisi kebijakan yang berlaku saat ini tanpa disertai dengan jawaban atas persoalan penghambatnya. Tawaran kebijakan tersebut juga tampak tidak didasari pada pengetahuan komprehensif dan evaluasi kritis atas implementasi kebijakan pendidikan saat ini.
Isu-isu mendesak yang menjadi tantangan utama penyelenggaraan pendidikan berkualitas, merata, dan berkeadilan yang perlu secara lebih konkret dan tegas direspon oleh capres dengan tawaran kebijakan diantaranya:
Pertama, pemenuhan pasal 34 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan janji capres wajib belajar 12 tahun. Wajib belajar 12 tahun yang ada dalam visi misi capres 01 dan 03 bukan gagasan baru. Namun hingga hari ini, penerapan wajib belajar masih setengah hati. Wajib belajar 9 tahun tanpa pungutan biaya sebagaimana diamanatkan dalam pasal 34 UU Sisdiknas tidak tuntas ditunaikan pemerintah.
Faktanya, hari ini sekolah belum mampu menjamin ketersediaan sekolah negeri dan tidak juga mengeluarkan kebijakan sekolah swasta bebas biaya. Fakta lainnya, angka putus sekolah juga meningkat pada tahun ajaran 2022/2023, termasuk di level pendidikan dasar. Atas dasar hal tersebut, janji capres mengenai wajib belajar seharusnya disertai dengan strategi implementasi agar tidak terjebak pada masalah yang sama.
Kedua, pemerataan, kualitas, dan kesejahteraan guru. Ketiga capres menyerukan kesejahteraan guru, bahkan secara spesifik capres 02 dan 03 menyebut akan menaikkan gaji atau pendapatan guru. Persoalan yang dihadapi guru, lagi-lagi condong dijanjikan dengan meningkatkan kesejahteraan, padahal problem guru juga meliputi ketersediaan guru di daerah-daerah terpencil, kompetensi guru yang belum merata, dan profesionalisme guru. Capres 01 juga mengupas aspek kualitas dan pemerataan guru, namun belum menunjukkan adanya pembaruan gagasan dan strategi kebijakan yang akan diterapkan.
Perihal kesejahteraan, guru honorer patut mendapat perhatian serius mengingat ketidaklayakan honor saat ini. Sebelum itu, yang perlu diperjelas adalah pengakuan negara dan pengangkatan status guru honorer. Meningkatkan gaji guru honorer juga perlu dijelaskan dengan lebih spesifik agar tidak menggerus anggaran fungsi pendidikan yang semestinya diprioritaskan untuk menuntaskan wajib belajar dan sarana/ prasarana pendidikan.
Ketiga, komersialisasi pendidikan. Pandangan dan sikap capres atas isu komersialisasi pendidikan tidak jelas. Padahal, komersialisasi adalah isu nyata yang menjadi persoalan fundamental dan mengganggu akses publik atas pendidikan. Komersialisasi pendidikan terjadi baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Jeritan mahasiswa dan wali murid mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya masuk kuliah seharusnya dijawab dengan komitmen capres menghadirkan kebijakan pendidikan berbasis hak, bukan pasar. Negara perlu hadir mengatur biaya pendidikan di semua jenjang.
Keempat, pendidikan inklusif. Janji pendidikan inklusif tidak disertai kebijakan konkret. PP No. 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi lembaga penyelenggara pendidikan menyediakan akomodasi yang layak. Fasilitas tersebut mencakup empat hal, yaitu anggaran atau pendanaan, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, serta kurikulum. Selama ini, empat hal tersebut masih tidak mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas. Sehingga, sekolah inklusif masih minim dan membuat anak berkebutuhan khusus menempuh jarak jauh serta mengeluarkan biaya ekstra yang memberatkan.
Kelima, kurikulum dan kompetensi guru harus dievaluasi dan butuh terobosan. Sebab, hingga kini faktor kurikulum dan guru ini belum mampu menciptakan dampak nyata adanya perubahan di level peningkatan kemampuan literasi dasar peserta didik.
Data PISA 2022 (yang baru saja dirilis pada Desember 2023) menunjukkan bahwa tingkat literasi, numerasi, dan kemampuan sains pelajar Indonesia masih terjerembab dalam jajaran negara-negara level bawah dengan skor terendah di dunia, tepatnya nomor 69 dari 80 negara yang ikut PISA, atau berarti no 11 dari bawah. Bila dibanding negara ASEAN, kemampuan pelajar Indonesia juga tertinggal jauh. Skor pelajar Indonesia masih berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Data ini menunjukkan bahwa pendidikan kita masih jauh dari harapan. Karena itu dibutuhkan ide baru sebagai terobosan atas kebuntuan ini
Keenam, pengelolaan anggaran pendidikan berbasis prioritas sebagaimana menjadi mandat konstitusi. Dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD memang telah dipenuhi oleh pemerintah sejak 2009. Namun, anggaran ini jelas tidak cukup mampu menjawab kebutuhan pendidikan yang dicampur aduk dengan gaji dan biaya pendidikan kedinasan. Mandat pendidikan wajib belajar tidak tuntas dipenuhi, namun di sisi lain anggaran pendidikan dialokasikan untuk kebutuhan lain yang tidak prioritas. Terlihat bahwa anggaran pendidikan 20% tidak hanya mencakup anggaran yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Pada kondisi demikian, gagasan capres wajib belajar 12 tahun, menaikkan gaji guru, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya akan sulit tercapai tanpa disertai komitmen politik anggaran (prioritas, efisiensi, akuntabilitas). Jangan sampai, arah pelayanan pendidikan ke depan justru semakin mengarah pada komersialisasi akses layanan.
Ketujuh, minim komitmen transparansi, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan anggaran pendidikan. Data IBC terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pendidikan pada 2022 menunjukkan hanya 18% kabupaten/ kota yang memiliki transparansi anggaran pendidikan yang baik dan hanya 12% kabupaten/kota yang memiliki akuntabilitas anggaran pendidikan yang baik.
Komitmen pendidikan dan disandingkan dengan komitmen pencegahan serta pemberantasan korupsi tidak akan cukup membendung risiko korupsi pendidikan yang kian tinggi. Data penindakan kasus korupsi yang setiap tahun dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW) memperlihatkan korupsi sektor pendidikan masih tinggi. Dalam lima tahun terakhir (2019-2023), terdapat 164 kasus korupsi sektor pendidikan. Sektor pendidikan selalu masuk lima besar sebagai sektor yang paling banyak ditangani penegak hukum terkait kasus korupsi. Korupsi tak tersentuh hukum, seperti pungutan liar di sekolah juga masif terjadi. Fenomena ini menunjukkan alokasi anggaran pendidikan banyak mengalami kebocoran. Capres perlu memasukkan inovasi pencegahan korupsi di dunia pendidikan.
Kedelapan, komitmen menghadirkan pemerintahan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Catatan kritis terhadap pemerintahan hari ini adalah pemerintah yang berjarak dari publik. Publik tidak dilibatkan secara bermakna dalam penyusunan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Sikap pemerintah yang demikian juga tercermin dalam penyelenggaraan sekolah yang bahkan tidak terbuka kepada warga sekolah. Capres seharusnya tegas menyampaikan komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan secara terbuka.
Kesembilan, visi misi capres belum menyentuh pencegahan dan penanganan yang diperlukan terkait persoalan perundungan, kekerasan, dan ketidakadilan gender di dunia pendidikan. Hal urgen yang perlu dijawab misalnya terkait bagaimana anak-anak perempuan korban kekerasan seksual yang kerap tidak punya pilihan selain harus mengubur mimpi untuk sekolah.
Atas catatan di atas, kami mendesak agar capres tidak sekedar menyajikan gagasan manis yang kosong dan menunjukkan komitmen konkret untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis hak, berkualitas, merata dan berkeadilan. Kami juga mengajak masyarakat untuk bersikap kritis dan tidak cukup terbuai dengan janji populis capres.
Jakarta, 2 Februari 2024
Indonesia Corruption Watch (ICW), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Indonesia Budget Center (IBC)
ICW (Almas Sjafrina - 085770624117)
JPPI (Ubaid Matraji - 08158789453)