HARI BHAYANGKARA KE-79: MOMENTUM REFORMASI POLRI, BUKAN SEKADAR SEREMONI

1 Juli 2025 menandai Hari Bhayangkara ke-79 sekaligus berlangsungnya 27 tahun reformasi Polri dari ABRI. Hari Bhayangkara seharusnya menjadi momentum penguatan komitmen reformasi Kepolisian demi lahirnya institusi Polri yang profesional, akuntabel, dan demokratis. Reformasi ini tidak lain merupakan wujud maksud pemisahan Polri dari ABRI, yaitu agar lembaga ini tidak lagi menjadi subordinat militer yang sarat kekerasan, bersih dari praktik politisasi penegakan hukum, serta mengukuhkan komitmen kepolisian terhadap prinsip demokrasi, negara hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Alih-alih mereformasi Polri, perayaan Hari Bhayangkara lagi-lagi didominasi kegiatan seremonial. Bahkan, Polri terkesan fokus pada upaya baru pencitraan melalui PoliceTube, parade robot-robot, dan berbagai kegiatan seremonial lainnya yang ditaksir menelan anggaran fantastis.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) memandang agenda tersebut tidak menyentuh akar persoalan institusional Polri yang membutuhkan reformasi substansial dan sistematis, baik secara kultural, instrumental, dan struktural. Kami meyakini buruknya citra Polri lahir dan sejalan dengan buruknya pelayanan yang lembaga ini hadirkan. Hingga saat ini, Polri masih menghadapi masalah sistemik, diantaranya lemahnya pengawasan internal dan eksternal, dominasi dalam penegakan hukum tanpa kontrol efektif dari kejaksaan dan pengadilan, persoalan rangkap jabatan perwira yang kian masif, hingga budaya impunitas yang mengakar.
Pengawasan internal Polri, oleh satuan Propam, misalnya, sulit diharapkan efektif karena faktor belenggu solidaritas korsa (esprit de corps) dan subkultur “blue code of silent” yang ada di dalam institusi Polri. Akibatnya, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) serta budaya impunitas terus berlangsung dan langgeng di tubuh kepolisian.
Organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara mencatat berbagai persoalan serius institusi Polri. Persoalan ini bermuara pada simpulan bahwa Polri patut dilihat sebagai aktor dominan pemegang monopoli kekerasan, pelanggaran terhadap HAM, tidak profesional, abuse of power, hingga terlibat dalam praktik-praktik koruptif. Berbagai catatan persoalan tersebut di antaranya:
- KontraS dalam rentang 5 tahun terakhir (2020-2025) menghimpun praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia, dengan total temuan mencapai 3197 kasus;
Kategori pelanggaran mencakup penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing); - Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022-2023, YLBHI juga mencatat terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.
- Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri juga ditunjukkan oleh dokumentasi Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta. Selama periode Januari-Mei 2024, setidaknya terdapat 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tidak hanya itu, 35 orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai;
- Terkait praktik Pengadaan Barang/ Jasa (PBJ), ICW menemukan dugaan korupsi PBJ gas air mata pada 2022-2023. Dalam pengadaan “pepper projectile launcher” ICW dan koalisi masyarakat sipil menemukan adanya dugaan praktik persekongkolan dalam pengadaan hingga mark up harga.
- Para pejabat tinggi Polri juga ditengarai kerap terlibat dalam bisnis kotor “bawah tanah” semisal Konsorsium 303. Selain itu praktik menyimpang dan penyalahgunaan kekuasaan polisi dari jenderal hingga bintara kepolisian yang kerap “takluk” di hadapan narkotika, sebut saja kasus yang melibatkan Irjen Teddy Minahasa, preseden pemerasan terhadap banyak penonton turis oleh sejumlah polisi pada konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024, dan berbagai perilaku korup lain yang sejatinya telah menjadi “rahasia umum” seperti perilaku polisi lalu lintas hingga praktik koruptif di proses penyelidikan dan penyidikan;
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat dalam 3 tahun terakhir (2022-2024) polisi masih menduduki posisi sebagai aktor dominan pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Terdapat 19 kasus di tahun 2024, 17 kasus di tahun 2023, dan di tahun 2022 sebanyak 15 serangan. Bahkan pada peliputan aksi demonstrasi menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja di 2020, terdapat 28 jurnalis mengalami kekerasan oleh polisi;
- Laporan Tahunan Komnas HAM RI menyebut bahwa Kepolisian dalam 6 tahun terakhir konsisten menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan total laporan mencapai 4485 laporan kasus;
- Laporan Tahunan Ombudsman RI pada 5 tahun terakhir (2020-2024) menunjukan, kepolisian nyaris konsisten menempati peringkat atas sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan total mencapai 3355 laporan.
Persoalan di atas kian menegaskan persoalan serius dan sistemik institusi Polri tidak kunjung terselesaikan dan agenda reformasi kepolisian masih gagal. Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan Hari Bhayangkara menjadi titik balik reformasi, Koalisi RFP mendesak:
- Presiden Prabowo dan DPR RI segera melakukan evaluasi menyeluruh kelembagaan Polri serta mendesain Reformasi Polri secara struktural, instrumental, dan kultural untuk memastikan akuntabilitas, transparansi, profesionalitas, independensi, serta pemolisian demokratis yang berkomitmen terhadap demokrasi, negara hukum, dan HAM;
- Presiden Prabowo dan DPR RI melakukan reformasi terhadap Sistem Peradilan Pidana secara fundamental melalui pembaharuan KUHAP untuk memastikan adanya kontrol efektif dan mekanisme “check and balances” antar aparat penegak hukum, khususnya terhadap kepolisian. KUHAP saat ini masih amat memungkinkan absennya kewenangan pengawasan yang ketat (strict scrutiny) dari pengadilan (judicial) serta fungsi kejaksaan sebagai dominus litis masih terbatas. Posisi jaksa cenderung layaknya “kurir” dari penyidik kepolisian, sehingga tidak menjadikannya sebagai leading sector dalam penegakan hukum pidana. Karenanya, penegakan hukum berkutat di awal proses penyidikan tanpa disertai pengawasan yang efektif baik dari jaksa maupun hakim;
- Presiden Prabowo dan DPR RI segera melakukan evaluasi terhadap kegagalan sistem pengawasan Polri selama ini, yakni, Propam dan Komisi Kepolisian Nasional, dengan membentuk mekanisme pengawasan Polri baru yang efektif dan independen baik internal maupun eksternal dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil secara sungguh-sungguh;
- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memastikan transparansi dan akuntabilitas dengan membuat sistem informasi perkara dan laporan kinerja serta penggunaan anggaran Polri yang mudah diakses masyarakat;
- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus tegas dan sungguh-sungguh dalam membersihkan institusi Polri dengan memberhentikan dan memproses pidana anggotanya yang melakukan korupsi, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan profesionalitas penegak hukum.
Jakarta, 1 Juli 2025
Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian
(KontraS, YLBHI, ICJR, PSHK, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, SAFEnet, ICW, AJI Indonesia, Yayasan Kurawal, PBHI, WeSpeakUp.org, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya)