Korupsi Membajak Kemerdekaan

Menginjak usia kemerdekaan Indonesia ke-80 tahun merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perenungan terhadap upaya pemberantasan korupsi, bukan sekadar ingar bingar perayaan. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato kenegaraan pertamanya pada Sidang Tahunan MPR RI yang digelar 15 Agustus lalu, menyampaikan bahwa harus berani melihat penyakit-penyakit yang ada di tubuh kita. Sejatinya penyakit utama yang mendera bangsa ini adalah korupsi. Hingga hari ini, koruptor masih menguasai negara, masyarakat kian terpinggirkan, kebijakan semakin tak berpihak pada rakyat, dan penegakan hukum dipertaruhkan demi kepentingan elite politik yang akhirnya menggerus nilai keadilan. 

Presiden Prabowo Subianto pun menyampaikan bahwa akan menyelamatkan rakyat, membela kepentingan rakyat dan memastikan rakyat tidak menjadi korban serakah-nomic. Nyatanya pembajakan kepentingan publik dipertontonkan dengan telanjang. Kenaikan pajak secara serampangan sebesar 250% oleh Bupati Pati merupakan salah satu bukti nyata bahwa pemerintah tidak memihak rakyat. 

Tidak hanya itu, dalam satu tahun terakhir sederet kebijakan meninggalkan banyak persoalan. Makan Gizi Gratis (MBG) misalnya, menghabiskan Rp355 triliun atau 44% dari total anggaran pendidikan 2026 sebesar Rp757,8 triliun. Anggaran pendidikan 2026 ini tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, seharusnya menjadi momentum memperkuat kualitas guru, memperbaiki fasilitas sekolah, serta memperluas akses pendidikan. Namun, porsi terbesar justru digelontorkan untuk program MBG yang menyisakan tanda tanya besar soal transparansi, efektivitas, dan potensi penyalahgunaan di tengah krisis keuangan serta kebutuhan rakyat yang jauh lebih mendesak.

MBG sering disebut-sebut sebagai sebuah keberhasilan. Namun, pengamatan ICW menunjukan realitas berbeda. Hasil pemantauan mencatat, MBG menyisakan banyak persoalan hingga saat ini, di antaranya; ketidakjelasan proses implementasi di sekolah, keterlambatan pengiriman makanan, pelibatan TNI, ketertutupan anggaran, dan kualitas makanan yang buruk. Ironisnya, salah satu wakil menteri mengaitkan MBG dengan peningkatan kemampuan warga belajar bahasa Inggris. Hal tersebut justru memperlihatkan program ini dipoles dengan retorika berlebihan, tanpa bukti nyata yang terukur. Alih-alih transparan, MBG justru berpotensi menjadi proyek pencitraan politik yang rawan diselewengkan dan menekan publik untuk “membayar” program tersebut, nyatanya, tidak ada makan siang yang gratis.

Namun, tak terlihat jelas komitmen pemerintah untuk menanggulanginya. Masih segar dalam ingatan kita, Presiden Prabowo memberikan Abolisi dan Amnesti kepada terdakwa kasus korupsi, Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong pada 31 Juli 2025. Meski hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden, pemberian amnesti dan abolisi sebelum proses hukum inkracht dapat dilihat sebagai intervensi politik yang berbahaya dalam penegakan hukum antikorupsi dan menimbulkan kesan sewenang-wenang. Langkah ini berpotensi melemahkan efek jera terhadap praktik korupsi, memberi sinyal bahwa pejabat korup dapat dilindungi, dan mendorong budaya impunitas yang merugikan kepentingan rakyat. Perlindungan hukum bagi koruptor melalui amnesti atau abolisi yang prematur dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum secara keseluruhan.Meskipun pemerintah kerap kali menyampaikan komitmen pemberantasan korupsi. Lagi-lagi tak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan.

Vonis yang diberikan pada koruptor misalnya, masih berada di level ringan dan tidak memberikan efek jera. Data ICW 2015-2023 mencatat rata-rata vonis yang diberikan pada koruptor hanya 3 tahun 7 bulan serta sebanyak 682 orang divonis bebas/lepas dan kerugian negara mencapai 92 Triliun rupiah. Maka, komitmen untuk memberantas korupsi yang kerap digaungkan pemerintah patut dipertanyakan. Apalagi hingga saat ini RUU Perampasan Aset tak kunjung dibahas dan disahkan. Padahal melalui RUU Perampasan Aset, dapat mempercepat pemulihan kerugian negara sekaligus menutup celah koruptor untuk menyembunyikan dan mengalihkan aset mereka. Mandeknya pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi sinyal kuat pemerintah juga tidak berpihak pada kepentingan rakyat. 

Di sisi lain, korupsi juga berjalan beriringan dengan penyempitan ruang sipil. Represi aparat kepolisian meningkat, terutama terhadap warga yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara. Amnesty International mencatat dalam 100 hari masa kepemimpinan Prabowo Gibran telah terjadi 17 pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil oleh aparat Polri dan TNI serta lebih dari 100 orang ditangkap, dikriminalisasi, maupun mendapatkan serangan fisik. Tak hanya itu, praktik kekerasan yang mencolok termasuk penggunaan gas air mata kadaluarsa oleh kepolisian dalam aksi demonstrasi warga Pati baru-baru ini. Penyempitan ruang sipil berpotensi melindungi praktik korupsi dari pengawasan publik. Ketika masyarakat takut bersuara atau dikriminalisasi, transparansi kebijakan dan akuntabilitas pejabat publik menjadi semakin terhambat, sehingga korupsi tetap berlangsung tanpa kontrol efektif. 

Tan Malaka pernah berkata “Kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan. Kemerdekaan sejati hanya ada bila rakyat berani berpikir, bersuara, dan melawan segala bentuk penindasan.” Korupsi merupakan penindasan gaya baru yang kerap tidak kita sadari. Maka, momentum peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ini sudah seharusnya dijadikan titik balik untuk menenun kembali semangat melawan korupsi sekaligus mengkonsolidasikan kekuatan rakyat untuk melawan korupsi yang telah mengakar. Tanpa kekuatan kolektif, agenda pemberantasan korupsi  akan menguap begitu saja dan rakyat akan terus dipaksa menanggung beban penderitaan atas pajak yang semakin mencekik dan sulitnya hidup layak. Sedangkan elite politiknya sibuk berpesta dalam lantunan musik berjudul kekuasaan. 

Indonesia Corruption Watch

Narahubung: 

Nisa Zonzoa (Koordinator Divisi Edukasi Publik) 

Eva Nurcahyani (Staf Divisi Edukasi Publik)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan