Mengecam Brutalitas Kepolisian dalam Konflik Rempang: Presiden Segera Perintahkan Kapolri untuk Hentikan Penggunaan Gas Air Mata
Ambisi berlebih untuk mendorong investasi melalui pendekatan developmentalism pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menimbulkan konflik. Kasus yang terjadi di Pulau Rempang pada kamis pekan lalu (7/9/23), semakin menambah panjang penggunaan kekuasaan secara berlebih untuk merepresi masyarakat yang menolak proyek pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan kawasan Rempang Eco-City di tanah seluas 17 ribu hektare ini diproyeksikan oleh pemerintah sebagai proyek strategi nasional melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN, yang baru disahkan pada 28 Agustus 2023 lalu.
Guna menjalankan proyek tersebut, pemerintah akan menggusur seluruh penduduk Rempang yang terdiri dari kurang lebih 10 ribu jiwa. Akan tetapi seperti halnya proyek strategi nasional lainnya, pemerintah tidak mengajak warga, terutama masyarakat adat yang berada di lokasi proyek dan telah lama mendiami tanah untuk berdialog membahas mengenai pembangunan tersebut. Alhasil, sejumlah warga yang berusaha mempertahankan haknya harus menjadi korban dari keberingasan aparat kepolisian yang bertugas melakukan pengamanan.
Alih-alih memberikan rasa aman melalui pendekatan yang sesuai dengan prosedur pengendalian massa, polisi yang bertugas justru berkali-kali menembakkan gas air mata dengan tujuan untuk membubarkan massa. Akibat tindakan tersebut, sejumlah warga mengalami luka-luka, bahkan beberapa pelajar juga tak luput dari brutalitas aparat yang menembakkan gas air mata ke arah sekolah, sehingga beberapa pelajar diantaranya mengalami gangguan penglihatan. Tindakan kepolisian tersebut sudah sepatutnya dikecam mengingat mereka telah menyalahi ketentuan mengenai penggunaan gas air mata.
Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, tertuang jelas bahwa penggunaan senjata api atau senjata kimia yang termasuk di dalamnya gas air mata harus menjadi opsi terakhir jika situasi dianggap menimbulkan kekacauan. Peristiwa tersebut semakin menegaskan bahwa kultur kekerasan memang tidak dapat dilepaskan dari institusi Polri dan jargon polisi humanis hanya lip service belaka.
Bukan tanpa alasan, berdasarkan catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada periode Juli 2022 hingga Juni 2023, terdapat 622 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian, dengan rincian 187 orang tewas dan 1.363 orang luka. Menurut catatan YLBHI, terdapat 106 konflik Sumber Daya Alam dan Proyek Strategis Nasional yang dalam 5 tahun terakhir didampingi LBH YLBHI di 10 Provinsi. Dalam konflik tersebut pelakunya selain perusahaan swasta dengan 100 subyek, pemerintah daerah 74 subyek, 50 Kepolisian RI di beberapa wilayah juga menjadi subjek pelaku. Secara lebih spesifik, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia, sepanjang tahun 2015-2022 terdapat 144 kejadian penembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian.
Selain itu, masih berdasarkan data ICW dan Trend Asia, selama periode tahun 2013-2022, kepolisian telah membeli amunisi gas air mata beserta pelontarnya dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 2,01 triliun. Pada tahun 2023, ICW kembali menemukan adanya pembelian sebanyak 67.023 unit amunisi gas air mata oleh kepolisian. Sayangnya, anggaran fantastis yang digelontorkan tidak disertai dengan upaya transparansi dan akuntabilitas yang ketat, sehingga pola atas indikasi kecurangan dalam proses pembelian gas air mata masih berulang.
Salah satu temuannya adalah potensi dugaan kemahalan harga tidak wajar dalam pengadaan gas air mata dari harga pasaran. Tanpa disertai dengan prosedur dan tata kelola yang ketat mengenai pengadaan dan penggunaan gas air mata, maka indikasi kecurangan akan terus terjadi, bahkan mengarah pada potensi terjadinya tindak pidana korupsi. Terlebih, institusi kepolisian juga akan terus menggunakan gas air mata sebagai alat untuk kembali mengancam masyarakat yang menentang proyek-proyek pemerintah.
Atas permasalahan tersebut, koalisi masyarakat sipil mendesak agar:
- Presiden sebagai panglima tertinggi Polri segera memerintahkan Kapolri untuk menghentikan pendekatan kekerasan saat melakukan penanganan massa;
- Kapolri harus menghentikan pembelian amunisi gas air mata sampai ada evaluasi dan perbaikan mengenai tata kelola penggunaan gas air mata.
- Dewan Perwakilan Rakyat harus segera memanggil Kapolri untuk dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan penggunaan gas air mata.
- Badan Pemeriksa Keuangan harus melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap pembelian gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian sejak tahun 2013 hingga 2023.
Koalisi Masyarakat Sipil:
- Arif Maulana - YLBHI
- Boy Jerry - WALHI Riau
- Dimas Bagus Arya - KontraS
- Nisa Rizkiah - ICW
- Zakki Amali - Trend Asia