Menyoal Proses Hukum Zarof Ricar: Bongkar Jaringan Mafia Peradilan Lainnya

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, oleh Kejaksaan Agung harusnya menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar kotak pandora mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman. Terlebih, petunjuk guna menindaklanjutinya sudah terang benderang, yakni, penemuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di kediaman Zarof. Logika sederhana saja, dibandingkan dengan harta kekayaannya pada Maret tahun 2022 yang hanya berjumlah Rp 51,4 miliar, tentu uang ratusan miliar tersebut terbilang janggal dan patut ditelusuri lebih lanjut. 

Dalam pengamatan ICW, setidaknya ada tiga potensi kejahatan Zarof lainnya yang harus didalami oleh tim penyidik Kejaksaan Agung. Pertama, suap-menyuap. Adapun, suap di sini terjadi bilamana uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof adalah hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya. Kami pun ingin ingatkan, sekalipun Zarof bukan hakim, namun tetap ada kemungkinan bahwa dirinya adalah broker atau perantara suap kepada oknum internal MA. Praktik dengan modus memperdagangkan pengaruh yang serupa dengan kasus tersebut pernah terjadi, yakni, saat Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kejahatan mantan Sekretaris MA, Nurhadi. 

Kedua, gratifikasi. Praktik lancung ini dikonstruksikan dengan membangun asumsi bahwa temuan uang dan bongkahan emas didapatkan Zarof dari sejumlah pihak yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya atau tergolong sulit menelusuri pemberinya. Jika menggunakan delik gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor), maka beban pembuktian akan berpindah, dari penuntut umum ke Zarof sendiri. Pembuktian terbalik ini akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya. Ketiga, pencucian uang. Delik ini mungkin diterapkan tim penyidik bilamana ditemukan bukti bahwa perolehan harta hasil kejahatan disembunyikan oleh Zarof. Lebih jauh lagi, pelaku dalam konteks pencucian uang tidak hanya dapat menjerat Zarof, melainkan juga pihak lain yang turut menerima dana hasil kejahatan. 

Kondisi ini semakin menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2023, setidaknya terdapat 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi (data terlampir). 

Melihat kondisi lembaga peradilan yang semakin mengkhawatirkan, maka diperlukan langkah luar biasa untuk bersih-bersih mafia peradilan, sekaligus untuk mengembalikan citra lembaga peradilan di mata publik. Ada tiga rekomendasi yang bisa dilakukan, yakni:

  1. Ketua Mahkamah Agung baru, Sunarto, harus menjamin bahwa proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak akan diintervensi oleh pihak manapun. 
  2. Dalam rangka preventif ke depan, Mahkamah Agung harus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kepolisian untuk menyusun pemetaan terhadap korupsi di sektor peradilan. 
  3. Kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman harus diperkuat. Berkaca pada pedoman perilaku hakim, kewenangan Komisi Yudisial masih terbatas pada pemberian rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung. Tentu kondisi tersebut membuka potensi terjadinya konflik kepentingan. 
Korupsi Hakim

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan