Pengaburan dan Pemasungan Demokrasi
Usai Pemilu tahun ini, kita mesti bercermin dan mengukur capaian sampai titik mana kebebasan sipil dan terbukanya ruang demokrasi bekerja. Perjalanan panjang demokrasi bangsa ini pasca reformasi 1998 mesti ditilik kembali. Sejauh mana jalan yang telah ditempuh untuk melihat mutu demokrasi tentu tak bisa diukur hanya dengan penggaris 30 cm. Dari itu dibutuhkan semacam indikator yang lebih memungkinkan dapat menjangkau jejak demokrasi dari pelbagai sektor dan elemen dalam bernegara.
Dengan begitu kita dapat melihat secara seksama proses demokratisasi yang telah berjalan apakah mengalami progres atau malah sebaliknya, mengalami kemunduran. Hanya saja, hari ini dapat disaksikan, perjalanan demokrasi alih-alih mengalami progres, malah sebaliknya, demokrasi malah menyusut sedemikian rupa. Dengan kata lain, demokrasi kita mengalami semacam ketidakberimbangan antara power negara dan partisipasi masyarakat sipil.
Mayarakat sipill dijebak dalam kerangkeng ambisi instititusi atau suprastruktur negara yang dikendalikan oleh elit-elit tertentu. Dari itu, di antara bentuk pemasungan yang tampak mengemuka hari ini adalah terancamnya kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan penggunaan hukum untuk kepentingan politik praktis. Persoalan pertama dapat dilihat dari terbatasnya kebebasan masyarakat sipil dalam menyuarakan protes terhadap kebijakan negara.
Pemberangusan kebebasan sipil seperti ini berlangsung secara terstruktur dan secara terang benderang dipertontonkan. Di kampus misalnya kerapkali sivitas akademika diteror ketika mengemukakan pendapatnya. Kebebasan di mimbar akademik dipasung sedemikian rupa. Modus semacam itu salah satunya dilakukan dengan menghubungi pucuk pimpinan kampus agar menghentikan suara sivitas akademika yang menentang kebijakan negara dan oligarki.
Selain itu, negara juga mempraktikkan tindakan yang lebih brutal dalam membungkam suara masyarakat sipil. Keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) misalnya telah mengobok-obok kebebasan berbicara. Terdapat misalnya peretasan para akademisi pada 2019. Peretasan media sosial dan telepon genggam para aktivis. Terdapat pula tiga kampus yang dihubungi oleh BIN karena adanya diskusi yang dilakukan mahasiswa.
Tak kalah parah, para aktivis dikriminalisasi sedemikian rupa dengan dalih hate speech. Pasal karet semacam itu akhirnya dijadikan oleh negara sebagai alat untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil. Taruh misalnya ketika para aktivis menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Mereka ditangkap secara sewenang-wenang. Padahal pasal tersebut mestinya digunakan sebagai instrumen untuk melindungi korban nyatanya malah dimanfaatkan untuk menyalib suara kritis.
Bahkan saat ini, demonstrasi menjadi sesuatu yang terlarang dan dianggap negatif. Sejumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya dihalang-halangi dengan pelbagai dalih. Pada akhirnya ruang publik, tempat terbentuknya opini publik yang bebas dari pasar dan negara dimonopoli oleh negara dan oligarki. Ruang masyarakat sipil untuk berbicara dipersempit dan dipreteli.
Laku negara semacam itu dipertontonkan seolah-seolah sebagai suatu kewajaran yang dapat dimaklumi. Lucunya, nyaris semua modus pemberangusan kebebasan sipil tersebut dilakukan dengan dalih menjaga kondusivitas dan keamanan negara. Dalih semacam itu di alam demokrasi tentu tak bisa dibenarkan. Mengingat demokrasi sebagai sistem yang terus berkembang mensyaratkan adanya pengakuan terhadap partisipasi organisasi-masyarakat sipil. Masyarakat sipil menjadi subjek demokrasi yang sekaligus kebebasannya menjadi salah satu indikator paling wahid dalam menimbang mutu demokrasi suatu negara.
Wajar kemudian, Economist Intelligence Unit misalnya menilai kebebasan sipil di Indonesia pada 2019 berada pada angka 5,59 kalah dengan Singapura yang mencapai 7, 06. Pada 2020 Indonesia masih dengan skor 5,99. Terlebih empat tahun belakangan skornnya semakin merosot. Kekangan negara yang terlampau mempersempit denyut masyarakat sipil dan ruang demokrasi mengalami pengaburan sedemikian rupa sehingga tampak baik-baik saja, padahal di dalamnya tengah berlangsung pembusukan yang menjalar ke pelbagai aspek yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup warga negara.
Akhirnya, demokrasi kita hari ini mengalami semacam penumpukan beban diri pada struktur dan konstruksi suprastruktur politik dan institusi formal negara yang berkaitan secara langsung dengan politik elektoral. Politik elektoral inilah kemudian yang mengemuka sebagai persoalan kedua yakni penggunaan hukum untuk kepentingan ambisi politik penguasa.
Secara terang-terangan keputusan sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi meloloskan pihak tertentu hanya karena memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa. Tindakan negara semacam ini selain mengganggu dan merusak sistem bernegara, juga tampak brutal memotong masa depan demokrasi yang tengah berkembang. Begitu halnya dengan pengabaian hukum yang telah berlangsung lama, baik konstitusi, TAP MPR dan UU dibalut dalam watak represif negara sehingga masyarakat sipil dilumpuhkan.
Kultur politik negara dirusak hanya lantaran ambisi kekuasaan yang tak dapat ditolerir. Hal ini berlangsung di satu sisi akibat dari leluasanya bahkan sewenang-wenangnya komponen parliamentarism dalam menjalankan operasi melalui lembaga negara, parlemen, partai politik dan lembaga-lembaga formal negara. Kartelisasi politik menyebabkan kacaunya sistem bernegara.
Lantas aroma kolusi dan nepotisme makin menyengat dalam sistem bernegara. Itulah imbas kuasa negara dan oligarki yang terlampau mendominasi bahkan memonopoli sistem tata negara. Ujung dari teater negara semacam ini adalah pengangkangan hukum yang dijadikan sebagai instrumen untuk memuaskan ambisi negara dan oligarki dalam menjaga kekuasaanya agar berlangsung lama. Inilah puncak dari pembungkaman yang telah dilakukan oleh negara.
Sedangkan warga negara dituntut patuh dan tunduk terhadap instruksi elit-elit politik. Tak ada ruang mendengarkan suara masyarakat sipil yang menolak kebijakan negara. Sedangkan secara teknis, masyarakat sipil tak berkutik ketika represivitas negara melalui alat negara terang-terangan mengekang mereka. Padahal penegakan aturan main menjadi rangkaian faktor penting yang secara praktis menandai mutu demokrasi.
Itulah sebabnya kenapa persoalan terancamnya kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan penggunaan hukum untuk kepentingan politik praktis berjalan beriring. Persoalan pertama sebagai jalan untuk melangsungkan modus kedua yang menjadikan hukum sekadar sebagai prosedur dan bentuk pengaburan yang sewaktu-waktu dapat diakali dengan mudah. Lantas suara masyarakat sipil sebagai ruh dari demokrasi hanya diposisikan sebagai angin lalu semata.
Penulis,
Baihaqi Alka
Magister Studi Agama dan Resolusi Konflik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen HAM dan Multikulturalisme di UIN Mataram dan UNU NTB
Aktivis Lembaga Advokasi Rakyat untuk Demokrasi (LARD) NTB
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024