Polemik Seleksi Hakim Agung: Berpotensi Meloloskan Calon Nir-integritas

15 April 2025 lalu Komisi Yudisial mengumumkan 161 calon hakim agung yang lolos seleksi administrasi. Eks Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjadi salah satu dari 69 nama calon hakim agung yang akan ditempatkan di kamar pidana. Lolosnya Nurul Ghufron menjadi persoalan, sebab Nurul Ghufron pernah tersangkut masalah integritas, yaitu pernah dijatuhi sanksi etik atas intervensi yang dilakukan terkait mutasi pegawai Kementerian Pertanian.

Pemilihan hakim agung semestinya menjadi pintu masuk krusial untuk membenahi Mahkamah Agung dari praktik mafia peradilan yang selama ini ada. Integritas calon hakim agung harus dinilai sejak tahap administrasi, termasuk namun tidak terbatas pada rekam jejak calon hakim agung. Terlebih berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), 2 dari 29 hakim yang pernah terjerat kasus korupsi merupakan hakim agung, yaitu Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati. Bahkan, Gazalba Saleh diadili dua kali dalam kasus korupsi. 

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi yang memiliki fungsi tidak hanya memeriksa perkara, tapi juga berfungsi sebagai pengawas peradilan di bawahnya. Selain itu, Mahkamah Agung pun juga memiliki fungsi pengaturan yang berkaitan dengan hukum acara dan penafsiran hukum. Oleh sebab itu, dalam menjalankan tugasnya Mahkamah Agung wajib lepas dari segala potensi konflik kepentingan yang dapat mengganggu independensinya. 

Persyaratan untuk menjadi hakim agung diatur dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025.  Sayangnya, Pasal 6 ayat 2 yang mengatur mengenai persyaratan administrasi calon hakim agung nonkarier hanya mensyaratkan tidak pernah dijatuhi sanksi disiplin, bukan sanksi etik. Sehingga, patut diduga Nurul Ghufron diloloskan karena tidak pernah dijatuhi sanksi disiplin. Komisi Yudisial seharusnya mengatur pula mengenai penjatuhan sanksi etik dalam tahap administrasi, sebab sanksi etik juga menjadi perhatian utama dalam menyaring calon hakim agung yang berintegritas. 

Lolosnya Nurul Ghufron menjadi kontraproduktif dengan cita-cita penegakan hukum, karena hakim agung tidak hanya bertugas untuk menegakan keadilan, namun juga berperan sebagai reformasi dan pembaharuan hukum. Perbuatan menyalahgunakan wewenang yang dilakukan oleh Nurul Ghufron seharusnya menjadi dasar bagi Komisi Yudisial untuk tidak meloloskan administrasi Nurul Ghufron. Mengingat besarnya beban yang ditumpu oleh hakim agung, maka sudah seharusnya hakim agung memiliki nilai-nilai integritas, keadilan, dan kejujuran. 

Oleh sebab itu, ICW mendesak Komisi Yudisial agar:

  1. Tidak meloloskan lebih lanjut Nurul Ghufron sebagai Calon Hakim Agung.
  2. Meninjau secara teliti rekam jejak dan integritas calon lain yang sudah lolos administrasi.
  3. Memperbaiki Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2025 dengan menyertakan pelanggaran etik sebagai syarat administrasi bagi calon hakim agung nonkarier.
  4. Menyediakan kanal informasi bagi publik mengenai calon hakim dalam rangka memperkuat partisipasi publik.

Indonesia Corruption Watch

24 April 2025

Narahubung
Erma Nuzulia (Peneliti ICW)
Wana Alamsyah (Peneliti ICW)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan