Selain rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, salah satu produk legislasi yang penuh kontroversi belakangan ini adalah UU MD3 (MPR,DPR,DPD,DPRD) atau yang dikenal dahulu sebagai UU SUSDUK. UU ini disorot karena polemik pembahasannya dan materi muatan yang bermasalah.
Ada rumor bahwa Presiden Jokowi tak bersedia mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3). Padahal, undang-undang itu sudah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.
Sikap Presiden ini mengingatkan pada pemikiran George Jellinek (1851-1911), ahli tata ketatanegaraan Jerman yang mengklasifikasi negara menjadi dua, republik dan monarki. Negara disebut republik apabila undang-undang dibuat oleh suatu dewan. Sedangkan negara disebut monarki bila satu orang saja yang bisa membentuk undang-undang.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah rampung membahas revisi UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Namun, UU MD3 yang disahkan pada 12 Februari 2018 tersebut memuat sejumlah materi baru yang justru menimbulkan reaksi keras dari publik.
Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada DPR. Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlogika bahwa mereka dipilih oleh rakyat dalam kurun waktu sekali dalam lima tahun melalui mekanisme pemilihan umum. Logika berikutnya, anggota DPR mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat, maka kedudukan mereka sangat terhormat. Karena sangat terhormat, mereka perlu dilindungi.